Berlakunya hukum agraria kolonial yang berbeda dalam satu tempat dan waktu yang sama membuat terjadinya dualisme hukum agraria. Sehingga mengakibatkan tidak terciptanya kepastian hukum. Karena disatu pihak menggunakan hukum Adat dilain pihak menggunakan hukum Barat.
Bagi golongan Indonesia asli (pribumi) berlaku hukum Adat, sedangkan hukum adat antara satu daerah dengan daerah lainnya selalu berlainan. Untuk golongan Timur Asing dan Tionghoa berlaku hukum Barat. Bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa berlaku hukum Barat pula tetapi hanya mengenai hukum kekayaan dan waris.
Pada tahun 1854 Pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan Regering Reglement Tahun 1854, kemudian disusul “Agrairsche Wet” yang diundangkan pada Tahun 1870 No. 55 dengan peraturan pelaksanaannya yang disebut “Agrarisch Besluit”.
Pasal 1 Agrarisch Besluit mengatur tentang atau dikenal dengan pasal “Domeinverklaring” yang menyatakan bahwa “semua tanah yang orang lain tidak dapat membuktikan bahwa tanah itu milik (eigendom) nya, maka tanah itu adalah tanah milik negara”.
Lahirnya Agrarische Wet dan Agrarisch Besluit ini bertujuan untuk memberi kemungkinan dan jaminan kepada modal besar asing agar dapat berkembang di Indonesia dengan menyewa tanah seluas-luasnya dalam waktu yang lama.
Karena pada tahun 1830 para pengusaha besar asing (orang Belanda/Eropa) kesulitan mendapatkan tanah guna perkebunan besar. Untuk keperluan tersebut diberlakukan aturan “Tanam Paksa” (Cultur Stelsel).
Tiga tahun setelah Indonesia merdeka yaitu tahun 1948 Pemerintah Indonesia sudah memulai membuat rancangan penyusunan Hukum Agraria nasional. Pada tahun itu terbentuklah Panitia Perancang Hukum Agraria yang diberi nama “Panitia Agraria Yogya”, karena pada waktu itu ibukota negara Indonesia di Yogyakarta.
Panitia Yogya ini dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden tangggal 12 Mei 1948 yang diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo.
Pada tahun 1951 Panitia Yogya dianggap tidak sesuai dengan bentuk negara kesatuan maka kepanitian tersebut dibubarkan diganti dengan “Panitia Agraria Jakarta” tetap diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo. Namun kemudian beliau digantikan oleh Singgih Praptodihardjo.
Pembentukan Panitia Agraria Jakarta berdasarkan Keputusan Presiden No. 36 tanggal 19 Maret 1951.
Panitia Jakarta ini juga tidak bisa menyelesaikan Rancangan Agraria secara singkat. Akhirnya keluarlah Keppres No. 55 tanggal 29 Maret 1955 yang isinya dibentuklah Kementerian Agraria, dan dengan Keppres RI No. 1 tahun 1956 dibubarkanlah Panitia Agraria Jakarta dan dibentuklah Kepanitiaan baru yang diberi nama “Panitia Negara Urusan Agraria” yang diketuai oleh Soewahjo Soemodilogo.
Satu tahun kemudian tepatnya tahun 1957 kepanitiaan ini bisa menyelesaikan tugasnya.
Ruang Lingkup dan Pengertian Hukum Agraria
1. Ruang Lingkup Hukum Agraria
Ruang lingkup hukum agraria sangat luas yang meliputi bumi (tanah), air, ruang angkasa (kekayaan alam yang tekandung di dalamnya). Apabila ruang lingkup hukum agraria tersebut diundangkan, maka hukum agraria dapat mencakup yaitu, hukum pertanahan, hukum pertambangan, hukum perikanan, hukum perkebunan dan pertanian, hukum perikanan (laut, sungai dan daratan), dan hukum yang mengatur tentang pnguasaan dan penggunaan ruang angkasa.Hukum Agraria meliputi bumi atau permukaan bumi (tanah), air dan ruang angkasa. Termasuk klasifikasi air di sini adalah termasuk laut, sungai, danau dan lainnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan bumi (tanah) adalah daratan.
Sedangkan yang dimaksud dengan ruang angkasa adalah ruang di atas bumi dan perairan.
Perairan (laut) merupakan bagian dari hukum agraria, yang bisa diambil manfaatnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Hasil dari perairan Indonesia cukup dominan karena kualitas dan kuantitasnya.
Dari hasil alam yang banyak ini agar bisa dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat harus diatur dengan ketentuan perundang-undangan.
Bumi yang terdiri dari daratan adalah merupakan obyek dari hukum agraria yang paling dominan bila dibandingkan dengan perairan dan ruang angkasa. Hukum Agraria harus mengatur cara penggunaan bumi demi kemakmuran bangsa.
Dari ruang lingkup hukum agraria tersebut dapat disimpulkan, bahwa pengertian hukum agraria adalah “keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang perseorangan yang bekenaan dengan penguasaan dan penggunaan atas bumi (tanah), air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”.
2. Pengertian Hukum Agraria
Pengertian hukum agraria tersebut kemungkinan sangat luas. Dan kalau dipersempit, hukum agraria adalah “segala peraturan atau norma hukum yang mengatur hubungan hukum antar orang perseorangan yang berkenaan dengan penguasaan hak atas tanah dan penggunaannya.Di dalam Kamus Hukum yang ditulis oleh R. Subekti dan Tjitrosudibyo (1969 : 46 dan 9), mengartikan Hukum Agraria (Agrarisch recht) adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, baik hukum perdata, maupun hukum tatanegara (staatsrecht) maupun pula Hukum Tata Usaha Negara (administratief recht) yang mengatur hubungan antara orang. Termasuk badan hukum, dengan bumi, air dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah Negara dan mengatur pula wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan-hubungan tersebut.
Sedangkan pengertian “agraria” adalah urusan tanah dan segala apa yang ada di dalam dan di atasnya.
3. Pengertian Hukum Agraria Menurut Para Ahli
Gouw Giok Siong (Sudargo Gautama) mengartikan “Hukum Agraria” lebih luas daripada “Hukum tanah”.Utrecht, mendefinisikan “Hukum Agraria” (hukum tanah) sebagai bagian dari hukum tata usaha negara, yang menguji perhubungan-perhubungan hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat yang bertugas mengurus sal-soal tentang agraria, melakukan tugas mereka.
Menurut W.L. G. Lemaire, bahwa hukum agraria mengandung bagian-bagian daripada hukum privat, maupun hukum tata negara dan hukum administratif, juga dibicarakan sebagai suatu kelompok hukum yang bulat.
Pendapat Lemaire sama dengan Utrecht, bahwa hukum agraria adalah hukum tanah administratif saja, bukan hukum tanah yang tunduk pada hukum adat.
Dalam Kamus Hukum “Fockema Andreae” disebutkan bahwa hukum agraria (agrarisch recht) adalah keseluruhan peraturan-peraturan hukum mengenai usaha dan tanah pertanian.
Di Belanda Hukum Agraria terbagi dalam beberapa bidang hukum (hukum pedata dan hukum tata usaha negara).
J. Valkhoff dalam kamus hukum ENSIE (hal.483) hukum agraria adalah peratuan-peraturan hukum yang mengatur lembaga-lembaga hukum yang mengenai penguasaan tanah.
Tujuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
Tujuan pokok UUPA sebagaimana disebutkan dalam penjelasan umum adalah sebagai berikut:- Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional. Yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadaan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
- Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
- Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Asas-Asas Dalam UUPA
Dalam UUPA dimuat adanya beberapa asas hukum agraria nasional sebagai dasar yang menjiwai pelaksanaan UUPA.
Asas-asas UUPA tersebut adalah:
- Asas Kenasionalan, artinya bahwa seluruh wilayah Indonesia terdiri dari bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah merupakan kekayaan nasional milik bangsa Indonesia yang harus dipergunakan atau dimanfaatkan untuk kepentingan dan kemakmuran atau kesejahteraan rakyat Indonesia (Pasal 1 ayat (1, 2, 3) UUPA).
- Asas kekuasaan (dikuasai) oleh Negara, artinya Negara bukan sebagai pemilik, tetapi sebagai organisasi kekuasaan tertinggi yang berwenang:
- (a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa;
- (b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
- (c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa (Pasal 2 UUPA).
- Asas kepentingan nasional, artinya walaupun hak ulayat diakui keberadaanya, dan UUPA berdasarkan hukum adat tetapi tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional. Juga semua hak atas bumi, air, dan ruang angkasa ditujukan untuk kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia (Pasal 3 dan 5 UUPA).
- Asas semua hak atas tanah berfungsi sosial, atinya semua hak-hak atas tanah tidak boleh dipergunakan hanya untuk kepentingan pribadi pemiliknya, tetapi juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat.
- Asas kebangsaan, hanya Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak milik atas tanah (Pasal 9 ayat (1) UUPA).
- Asas Persamaan hak setiap Warga Negara Indonesia, artinya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam kepemilikan hak atas tanah. (Pasal 9 ayat (2) UUPA).
- Asas mengusahakan secara aktif tanah pertanian oleh pemiliknya sendiri (Pasal 10 UUPA).
- Asas pembatasan kepemilikan hak atas tanah (Pasal 7 jo Pasal 17 UUPA).
- Asas tata guna tanah atau penggunaan tanah secara berencana (Pasal 13, 14, dan 15 UUPA);
- Asas hukum adat, artinya semua hak atas tanah dalam UUPA berdasarkan hukum adat (Pasal 5 UUPA).
Sumber Hukum Agraria
Semua Undang-undang yang dibuat harus ada dasar hukumnya, begitu juga hukum agraria. Hukum agraria yang dimaksud adalah Undang-undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960).
Dasar atau sumber hukum agraria di Indonesia ada 2 macam, yaitu hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.
Dasar hukum tidak tertulis adalah hukum adat (Pasal 5 UUPA), sedangkan dasar hukum tertulis antara lain yaitu:
- Pasal 33 UUD 1945;
- UU Pokok Agraria (No. 5 Tahun 1960);
- UU Pertambangan (UU No. 11 Tahun 1967);
- UU Sumber Daya Air (UU No. 7 Tahun 2004);
- UU Perkebunan (UU No. 18 Tahun 2004);
- UU Kehutanan (UU No.19 Tahun 2004);
- UU Penataan Ruang (UU No. 26 Tahun 2007);
- UU Perikanan (UU No. 31 Tahun 2004);
- UU Wakaf (UU No.41 Tahun 2004);
- Peraturan-peraturan lainnya yang berkenaan dengan UU Pokok Agraria.
Dalam pasal 33 UUD 1945 dinyatakan bahwa, Bumi dan air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Selain itu dalam Pasal 1 ayat (1) UUPA ditentukan bahwa, seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah, air dan seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
Selanjutnya dalam ayat (2) dinyatakan bahwa, seluruh bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah RI sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
Bibliografi
- Umar Said Sugiharto, 2009. Pengantar Hukum Indonesia. Malang: Publikasi Online.
- Boedi Harsono. 1971. Sejarah Undang-undang Pokok Agraria. Jakarta: Jambatan.
Note: Untuk menuntaskan Bab kedelapan dengan judul Dasar-dasar Hukum Agraria ini dari materi mata kuliah Pengantar Hukum Indonesia. Silahkan klik tombol berikut untuk lanjut ke sesi berikutnya. 👇👇👇
Post a Comment
Post a Comment