- Hak Milik;
- Hak Guna Usaha;
- Hak Guna Bangunan;
- Hak Pakai;
- Hak Sewa;
- Hak Membuka Tanah;
- Hak memungut hasil hutan;
- Hak-hak lain yang bersifat sementara yang diatur dalam pasal 53 yakni hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian. (pasal 16 ayat (1). Selain hak-hak atas tanah masih ada hak-hak atas air dan ruang angkasa (pasal 16 ayat 2 UUPA) yakni:
- (a). hak guna air;
- (b).hak pemeliharaan dan penangkapan ikan, dan
- (c). hak guna ruang angkasa.
Dalam pengusahaan tanah pertanian tidak boleh terjadi adanya penindasan dan pemerasan yang merugikan para petani pemilik tanah (petani ekonomi lemah/petani gurem).
1. Hak Milik
Hak Milik atas Tanah diatur dalam pasal 20 s/d. pasal 27 UUPA. Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan pasal 6 (berfungsi sosial).Hak milik dapat beralih dan dialihkan (Pasal 20).
Yang dapat mempunyai tanah hak milik yaitu:
- Warga Negara Indonesia (perorangan);
- Badan Hukum Indonesia yang telah ditentukan oleh Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963. (yakni: Bank-bank yang didirikan oleh negara, Koperasi pertanian yang didirikan berdasarkan UU. No. 79 Tahun 1958, Badan-badan keagamaan, dan Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Agraria/Badan Pertanahan Nasional setelah mendengar dari Menteri yang berkepentingan). (Pasal 21).
- a. Peralihan hak (dialihkan), dan beralih karena pewarisan (Pasal 20 ayat 2);
- b. Menurut hukum adat (berdasarkan Peraturan Pemerintah);
- c. Penetapan pemerintah;
- d. Ketentuan Undang-undang yakni berdasarkan ketentuan konversi (Pasal 22).
- a. Pencabutan hak oleh negara berdasarkan UU No. 20 Tahun 1961;
- b. Penyerahan secara sukarela oleh pemiliknya;
- c. Diterlantarkan;
- d. Tanahnya musnah;
- e. Pemiliknya kehilangan kwarga negaraan Indonesia (Pasal 27 UUPA).
2. Hak Guna Usaha
Hak Guna Usaha diatur dalam pasal 28 s/d. pasal 34 UUPA jo. pasal 2 s/d. pasal 18 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996.Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu yang ditentukan guna untuk perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan.
Luasnya tanah yang bisa diberikan hak guna usaha paling sedikit 5 hektar, dan jika luasnya 25 hektar atau lebih pemegang hak guna usaha harus mempunyai investasi penanaman modal.
Lamanya pemegang hak guna usaha paling lama 25 tahun, dan untuk perusahaan yang membutuhkan waktu lama dapat diberikan jangka waktu 35 tahun, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang 25 tahun.
Yang dapat mempunyai hak guna usaha ialah:
- Warga Negara Indonesia;
- Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. (Pasal 30 UUPA jo. Pasal 2 P.P. No. 40 Tahun 1996).
- Beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Peralihan Hak Guna Usaha terjadi dengan cara: jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah, dan pewarisan (Pasal 28 ayat 3 jo. Pasal 16 P.P. No.40 Tahun 1996);
- Penetapan Pemerintah (Pasal 31 UUPA).
- Berakhir jangka waktunya;
- Diberhentikan/dibatalkan oleh pejabat yang berwenang sebelum waktunya;
- Dilepas secara sukarela oleh pemegangnya sebelum waktunya berakhir;
- Dicabut untuk kepentingan umum berdasarkan UU No. 20 Tahun 1961;
- Diterlantarkan;
- Tanahnya musnah;
- Kehilangan syarat sebagai pemegang hak guna usaha (Pasal 34 UUPA jo. Pasal 17 P.P. No. 40 Tahun 1996).
3. Hak Guna Bangunan
Hak Guna Bangunan diatur dalam pasal 35 s/d. pasal 40 UUPA jo. pasal 19 s/d. pasal 38 P.P. No. 40 Tahun 1996.Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya dalam jangka waktu paling lama 30 tahun, dan dapat diperpanjang 20 tahun. (Pasal 35 UUPA).
Yang dapat mempunyai hak guna bangunan:
- Warga negara Indonesia
- Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (Pasal 36 UUPA jo. Pasal 19 P.P.No. 40 Tahun 1996).
- a. Beralih dan dialihkan; Peralihan Hak Guna Bangunan terjadi karena: jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah, dan pewarisan (Pasal 35 ayat 2 jo. Pasal 34 P.P. No. 40 Tahun 1996);
- b. Penatapan Pemerintah (Keputusan Menteri atau pejabat yang berwenang bagi tanah yang dikuasai langsung oleh negara (Pasal 37 a UUPA jo. Pasal 22 ayat 1 P.P.No. 40 Tahun 1996);
- c. Perjanjian yang berbentuk otentik (bagi tanah hak milik), antara pemilik tanah dengan pihak yang memperoleh hak guna bangunan;
- d. Dengan Keputusan Menteri atau pejabat yang berwenang untuk tanah Hak Pengelolaan. (Pasal 22 ayat 2 P.P.No. 40 Tahun 1996).
- Jangka waktunya berakhir;
- Dihentikan/dibatalkan oleh pejabat yang berwenang sebelum waktunya;
- Dilepaskan oleh pemegangnya sebelum waktunya berakhir;
- Dicabut untuk kepentingan umum berdasarkan UU. No. 20 Tahun 1961;
- Diterlantarkan;
- Tanahnya musnah;
- Kehilangan sebagai pemegang hak guna bangunan (Pasal 40 UUPA jo. Pasal 20 ayat 2 P.P. No. 40 Tahun 1996).
4. Hak Pakai
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau milik orang lain dengan jangka waktu tidak tertentu (Pasal 41 UUPA).Menurut Pasal 45 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, hak pakai dapat diberikan paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun atau diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya masih dipergunakan.
Hak pakai atas tanah hak milik diberikan paling lama 20 tahun (Pasal 49 PP. No. 40 Tahun 1996).
Yang dapat mempunyai hak pakai ialah:
- Warga negara Indonesia.
- Orang asing yang berkedudukan di Indonesia.
- Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
- Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia (pasal 42 UUPA). Oleh pasal 39 P.P. No. 4 Tahun 1996 disebutkan tentang subyek hak pakai antara lain:
- Departemen, Lembaga Pemerintah non Departemen dan Pemerintah Daerah;
- Badan-badan keagamaan dan sosial;
- Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional.
- a. Hak Pakai atas tanah Hak pengelolaan dapat beralih dan dialihkan pada pihak lain;
- b. Hak Pakai atas tanah Hak Milik hanya dapat dialihkan apabila dimungkinkan dalam perjanjian pemberian hak pakai atas tanah hak milik;
- c. Peralihan Hak Pakai terjadi karena: jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah, dan pewarisan.
- Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian hak pakai, atau dalam perjanjiannya;
- Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, atau oleh pemiliknya bagi tanah hak milik;
- Dilepaskan secara sukarela oleh pemegangnya;
- Dicabut berdasarkan Undang-undang No. 20 Tahun 1961;
- Diterlantarkan;
- Tanahnya musnah;
- Pemegang Hak Pakai tidak memenuhi syarat sebagai subyek (pemegang) hak pakai (Pasal 40 ayat 2 P.P. No. 40 Tahun 1996).
5. Hak Sewa
Hak Sewa adalah hak untuk menggunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan dengan membayar sewa kepada pemiliknya (Pasal 44 UUPA).Yang dapat mempunyai hak sewa adalah:
- Warga negara Indonesia.
- Orang asing yang berkedudukan di Indonesia.
- Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
- Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia (Pasal 45 UUPA).
6. Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan
Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan adalah berasal dari Hukum Adat sehubungan dengan adanya hak ulayat. Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warga negara Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 46 UUPA).Hak-hak tersebut diatur oleh Undang-undang tersendiri. Untuk ketentuan pemungutan hasil hutan diatur oleh UU. No. 19 Tahun 2004 Tentang Kehutanan, sedangkan hak membuka tanah diatur dengan Undang-undang yang lain.
7. Hak-hak Yang Bersifat Sementara
Hak-hak yang bersifat sementara adalah hak-hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 53 UUPA, Hak atas tanah yang bersifat sementara ini sangat merugikan pemilik tanah gadai dan penggarap tanah.Hak atas tanah yang bersifat sementara ini antara lain:
- Hak Gadai;
- Hak Usaha Bagi Hasil;
- Hak Menumpang Karang;
- Hak Sewa Tanah Pertanian.
Sebab hak-hak ini sangat merugikan para petani ekonomi lemah, dan dikuatirkan terjadi penindasan atau pemerasan antara pemilik tanah dan penggarap atau penyewa tanah.
a. Hak Gadai
Hak gadai yang dimaksud adalah hak gadai tanah pertanian merupakan pengertian “jual gadai” tanah yang berasal dari Hukum Adat.Jual gadai adalah penyerahan sebidang tanah oleh pemiliknya kepada pihak lain dengan membayar uang kepada pemilik tanah dengan perjanjian bahwa tanah akan dikembalikan kepada pemiliknya apabila pemilik mengembalikan uang yang diterimanya kepada pemegang tanah gadai.
Maksud dan tujuan orang menggadaikan tanah adalah meminjam uang dengan jaminan sebidang tanah oleh pemiliknya. Tanah akan dikembalikan kepada pemiliknya apabila pemilik tanah sudah mengembalikan sejumlah uang pokok beserta bunganya kepada pemegang tanah gadai.
Jika pemilik tanah belum megembalikan uang yang dipinjam kepada pemegang tanah gadai, maka selamanya tanah gadai tetap berada dalam kekuasaan pemegang gadai.
Oleh karena itu “hak gadai atas tanah” oleh UUPA disebut sebagai hak atas tanah yang bersitat sementara artinya dalam waktu yang tidak lama hak gadai atas tanah harus tidak ada atau dinyatakan tidak berlaku di Indonesia.
Karena sangat merugikan pemilik tanah (petani ekonomi lemah) yang tidak mampu mengembalikan uang pinjamannya (menebusnya) kepada pemegang gadai.
Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 56 Prp. Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, menyatakan “barangsiapa menguasai tanah pertanian dengan Hak Gadai sudah berlangsung 7 (tujuh) tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemilinya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran tebusan.
Dengan adanya ketentuan tersebut, berarti hak gadai tanah pertanian menjadi tidak berlaku (hapus) setelah 7 (tujuh) tahun atau lebih, bahkan pemilik tanah tidak wajib membayar uang tebusan.
b. Hak Usaha Bagi Hasil
Hak Usaha Bagi hasil sama halnya dengan Hak Gadai Tanah, berasal dari Hukum Adat.Hak Usaha Bagi Hasil dalam hukum adat disebut dengan istilah “maro”- “mertelu”- “nyeperempat” (Jawa) atau “memperduai” (Minang), “tigo” (minahasa), “Nengah” atau “Jejuron” (sunda) hak menggarap tanah, artinya hak menggarap (mengusahakan) tanah pertanian milik orang lain (pemilik tanah) oleh seseorang, dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara kedua belah pihak (penggarap dan pemilik tanah).
Perjanjian Bagi Hasil sebelum berlakunya UUPA, telah diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil.
Undang-undang ini mengatur bahwa perjanjian bagi hasil atas tanah pertanian harus dilakukan secara tertulis dihadapan Kepala Desa dan dilaksanakan dengan “adil” tidak merugikan kedua belah pihak terutama pihak penggarap.
c. Hak Menumpang
Hak menumpang juga berasal dari Hukum Adat, artinya hak yang mengijinkan seseorang untuk mendirikan bangunan dan menempati tanah pekarangan orang lain, dengan tidak membayar sejumlah uang kepada pemilik pekarangan.Hak menumpang ini sebenarnya adalah bentuk lain dari hak pakai atas tanah, hanya sifatnya sangat lemah dan dapat merugikan kedua belah pihak.
Sewaktu-waktu pihak pemilik tanah dapat mengambil tanahnya; atau pihak penumpang tanah pekarangan tetap menempati tanah pekarangan untuk selamanya, dan mau pindah atau meninggalkan tanah pekarangan dengan meminta imbalan ganti rugi yang sangat tinggi dari pemilik pekarangan.
Dalam prakteknya hak menumpang ini tidak dilakukan dengan perjanjian tertulis karena tujuannya menolong atau membantu seseorang yang tidak mempunyai tempat tinggal atau tempat untuk bekerja, sehingga mengijinkan tanah pekarangannya ditempati untuk sementara.
d. Hak Sewa Tanah Pertanian
Hak Sewa Tanah Pertanian ini juga hak yang bersifat sementara (Pasal 16 ayat (1) UUPA), yang diharapkan dalam waktu yang tidak lama akan hapus dengan sendirinya karena sangat merugikan petani yang belum mempunyai tanah pertanian.Hak Sewa atas tanah pertanian oleh UUPA dibedakan dengan Hak Sewa atas tanah untuk mendirikan bangunan sebagaimana diatur dalam Pasal 44 UUPA.
Hak sewa atas tanah pertanian sebagai hak yang bersifat sementara juga sehubungan dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa, setiap orang atau Badan Hukum yang mempunyai suatu hak atas tanah pertanian diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.
Maksud yang terkandung dalam Pasal 10 ayat (1) UUPA bahwa, siapapun yang memiliki atau menguasai tanah pertanian harus mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif untuk menghindari terjadinya pemerasan terhadap penggarap.
Jika pemilik tanah tidak mampu mengusahakan secara aktif, maka tanah pertanian hendaknya dialihkan kepada pihak lain (petani) yang memerlukan. Atau dilepaskan secara sukarela kepada negara untuk didistribusikan kepada petani yang tidak mempunyai tanah pertanian.
8. Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah diatur dalam Pasal 19 UUPA. Pasal 19 ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa, untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.Menurut ketentuan Pasal 23 ayat (1), Pasal 32 ayat (1), dan Pasal 38 ayat (1) UUPA jo. Pasal 43 PP. No. 40 Tahun 1996 bahwa, terjadinya dan hapusnya hak milik, hak guna usaha, hak bangunan dan hak pakai harus didaftarkan sebagaimana ditentukan oleh pasal 19 UUPA.
Peraturan Pemerintah yang dimaksud oleh Pasal 19 ayat (1) UUPA adalah Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 sebagai pengganti Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah.
Obyek pendaftaran tanah menurut Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 yakni:
- (a) bidang tanah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai;
- (b) tanah hak pengelolaan;
- (c) tanah wakaf;
- (d) hak milik atas rumah susun;
- (e) hak tanggungan; dan
- (f) tanah Negara.
- Memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah.
- Menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah mengenai data suatu bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar.
- Terselenggaranya tertib administrasi pertanahan (Pasal 3 PP. No. 24 Tahun 1977).
Bibliografi
- Umar Said Sugiharto, 2009. Pengantar Hukum Indonesia. Malang: Publikasi Online.
- Boedi Harsono. 1971. Sejarah Undang-undang Pokok Agraria. Jakarta: Jambatan.
Anda kini sudah mencapai bagian akhir dalam menuntaskan pembahasan Bab VIII (kedelapan) dengan judul Dasar-dasar Hukum Agraria yang merupakan materi dari mata kuliah Pengantar Hukum Indonesia. Silahkan klik tombol di bawah ini untuk memilih bab selanjutnya. 👇👇👇
Post a Comment
Post a Comment