Situs Hukum - Salah satu unsur tindak pidana adalah kesalahan (schuld) yang dilakukan oleh si pelaku. Si pelaku adalah seorang manusia, maka harus terdapat hubungan kebatinan (mens rea).
Jika dalam keadaan mimpi seseorang dapat melakukan perbuatan yang masuk perumusan perbuatan yang dilarang dalam suatu pasal ketentuan hukum pidana dengan menendang orang lain yang berbaring disampingnya sehingga itu mendapat luka-luka maka ini tidaklah terpenuhi unsur batin.
Akan tetapi, jika dalam keadaaan sadar orang melakukan perbuatan terlarang maka dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Kesalahan ini berupa dua macam, yaitu pertama: kesengajaan (dolus/opzet), dan kedua: kurang berhati-hati/lalai (culpa).
1. Kesengajaan (opzet)
Sebagian besar tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet, bukan unsur culpa. Ini layak karena biasanya yang pantas mendapat hukuman pidana itu adalah orang yang melakukan sesuatu dengan sengaja.
Dalam pergaulan hidup kemasyarakatan sehari-hari, seseorang dengan suatu perbuatan sering mengakibatkan sekedar kerusakan, kalau ia akan menghindarkan diri dari suatu celaan, hampir selalu berkata. “Saya tidak sengaja”.
Biasanya apabila kerusakan itu tidak begitu berarti, perbuatan yang tidak dengan sengaja itu dimaafkan pleh pihak yang menderita kerugian. Artinya tidak dikenai hukuman apapun.
Kesengajaan ini harus mengenai ketiga unsur dari tindak pidana, yaitu:
- Kesengajaan yang bersifat suatu tujuan untuk mencapai sesuatu (opzet als oogmerk);
- Kesengajaan yang bukan mengandung suatu tujuan, melainkan disertai keinsyafan bahwa suatu akibat pasti akan terjadi (opzet bij zekerheidsbewustzijn atau kesengajaan secara keinsyafan kepastian);
- Kesengajaan seperti sub 2 tetapi denga disertai keinsyafan hanya ada kemungkinan (bukan kepastian) bahwa suatu akibat akan terjadi (opzet bij mogelijkheids-bewustzijn atau kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan).
Ad.1. Kesengajaan Yang Bersiafat Tujuan (Oogmerk)
Kesengajaan yang bersifat tujuan artinya bahwa si pelaku dapat dipertanggungjawabkan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Maka, apabila kesengajaan semacam ini ada pada suatu tindak pidana, tidak ada yang menyangkal bahwa si pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakan ancaman hukuman pidana (contitutief gevold).
Ada yang mengatakan bahwa yang dapat menghendaki adalah hanya perbuatan, bukan akibatnya. Akibat ini oleh si pelaku hanyadapat dibayangkan atau digambarkan akan terjadi (voorstellen).
Dengan demikian, secara dialetik timbul dua teori yang bertentangan satu sama lain, yaitu
- (a) teori kehendak (wilstheorie); dan
- (b) teori bayangan (voorstellingstheorie).
Teori kehendak menganggap kesengajaan (opzet) ada apabila perbuatan dan akibat suatu tindak pidana dikehendaki oleh si pelaku. Teori bayangan menganggap kesengajaan dan apabila si pelaku pada waktu yang bersangkutan akan tercapai, dan maka dari itu ia menyesuaikan pebuatannya dengan akibat itu.
Misalnya seorang yang menembak orang lain yang sebagai akibatnya kemudian meninggal dunia, menurut teori kehendak (wilstheorie) melakukan tindak pidana pembunuhan dengan sengaja oleh kerena si pelaku itu menghendaki matinya orang lain itu.
Menurut teori bayangan (voorstellingstheorie) si pelaku ini dapat dikatakan melakukan tindak pidana pembuuhan dengan sengaja karena ia pada waktu menembak mempunyai bayangan atau gambaran dalam pikirannya bahwa orang yang ditembaki itu akan meninggal dunia sebagai akibat tembakan itu, dan kemudian si pelaku menyesuaikan perbuatanya berupa menembak dengan akibat yang dibayangkan itu.
Contoh lain mengenai tindak pidana pencurian.
Menurut teori kehendak, si pelaku dapat dikatakan sengaja melakukan tindak pidana pencurian oleh karena ia menghendaki bahwa dengan pengambilan barang milik orang lain, mempunyai bayangan atau gambaran dalam pikirannya, barang itu akan menjadi miliknya, dan kemudian ia menyesuaikan perbuatan mengambil dengan akibat yang terbayang tadi.
Ad.2. Kesengajaan Secara Keinsyafan Kepastian (Opzet Bij Zekerheids-Bewustzinj)
Kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku dengan perbuatanya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang terjadi dasar dari delict, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.
Kalau terjadi, maka teori kehendak (wilstheorie) menganggap akibat tersebut juga dikehendaki oleh pelaku, maka kini juga ada kesengajaan.
Menurut teori bayangan (voorstelling-theorie), keadaan ini sama dengan kesengajaan berupa tujuan (oogmerk) karena dalam keduanya tentang akibat tidak dapat dikatakan ada kehendak si pelaku, melainkan hanya bayangan atau gambaran dalam gagasan pelaku, bahwa akibat itu pasti akan terjadi. Maka, juga kini ada kesengajaan.
Oleh para penulis Belanda sebagai contoh selalu disebutkan peristiwa “Thomas van Bremerhaven”, yaitu perbuatan seorang berupa memasukkan dalam suatu kapal laut, yang akan berlayar di laut, suatu mesin yang akan meledak apabila kapal itu di tengah laut. Dengan peledak tersebut kapal akan hancur, dan kalau ini terjadi, pemilik kapal akan menerima uang asuransi dari perusahaan asuransi.
Dalam merancangkan kehendak ini, si pelaku dianggap tahu benar bahwa apabila kapal hancur, para anak kapal dan penumpang lainnya akan tenggelam di laut dan akan mati semua. Dengan demikian, meskipun kematian orang-orang ini tidak masuk tujuan si pelaku (oogmerk), namun kini toh di anggap ada kesengajaan si pelaku itu, dan maka dari itu si pelaku dapat di persalahkan melakukan tindak pidana pembunuhan.
Munurut Van Hattum (halaman 246), “kepastian” dalam kesengajaan semacam ini harus diartikan secara relatif oleh karena secara ilmu pasti tidak mungkin ada kepastian mutlak.
Mungkin sekali para anak kapal dan penumpang dari kapal laut tadi tertolong semua oleh para nelayan yang ada di tempat meledaknya bom.
Maka, menurut Van Hattum, maksud “kepastian” adalah suatu kemungkinan yang sangat besar sedemikan rupa bahwa seorang manusia biasa menganggap ada kepastian, tidak ada kemungkinan besar saja.
Sebagai contoh, Van Hattum menyebutkan tindak pidana perkawinan ganda (pasal 279 KUHP). Kepastian tentang hal hanya ada apa bila istri kesatu dari si pelaku hadir pada waktu perkawinan kedua dilakukan; oleh karena satu jam sebelumnya istri ke satu meninggal dunia, maka tidak mungkin ada kepastian mutlak bahwa akibat berupa perkawinan dilarang, akan ada.
Saya rasa, dalam hukum tidak perlu diperhatikan kemungkinan yang sangat kecil ini. Di samping itu, pengertian “kepastian” dalam masyarakat dengan sendirinya tidak mungkin berarti mutlak, tetapi selalu relatif.
Hazewinkel-Suringa memberi contoh lain mengenai perkara yang pernah di putuskan oleh Pengadilan Arrondissement-recht bank di Amsterdam 17 Agustus 1894, termuat dalam Weekblad van het Recht 6573. Seorang pelaku yang berniat membunuh ibunya dengan cara menaruh racun dalam makanan ibunya itu, dan selalu bersam-sama makan.
Maka, dianggap pasti bahwa tidak hanya ibu tetapi juga paman itu akan makan racun dan meninggal dunia. Dengan demikian si pelaku harus dianggap ada kesengajaan membunuh si paman juga.
Sebetulnya, hampir tidak ada perbedaan antara kesengajaan secara tujuan (opzet als oogmmerk) dan kesengajaan secara keinsyafan kepastian (opzet bij zekerheids-bewustzijn).
Ad.3. Kesengajaan Secara Keinsyafan Kemungkinan (Opzet Bij Mogelijkheids-Bewustzijn)
Lain halnya dengan kesengajaan yang terang-terangan tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, tetapi hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu.
Kini, ternyata tidak ada perasaan pendapat di antara para sarjana hukum Belanda. Menurut Van Hattum dan Hazewinkel-Suringa, terdapat terdapat sua penulis Belanda, yaitu Van dijck dan pompe, yang mengatakan bahwa dengan hanya ada keinsyafan kemungkinan, tidak ada kesengajaan, tetapi hanya mungkin ada culpa atau kurang hati-hati.
Kalau masih dapat dikatakan bahwa kesengajaan secara keinsyafan kepastian praktis sama atau hampir sama dengan kesengajaan sebagai tujuan (oogmerk), maka sudah terang kesengajaan keinsyafan kemungkinan tidaklah sama dengan dua macam kesengaajaan yang lain itu, tetapi hanya disamakan atau dianggap seolah-olah sama.
Teorinya adalah sebagai berikut:
Apabila dalam gagasan si pelaku hanya ada bayangan kemungkinan belaka, akan terjadi akibat yg bersangkutan tanpa dituju, maka harus ditinjau seandainya ada bayangan kepastian, tidak hanya kemungkinan, maka apakah perbuatan toh akan dilakukan oleh si pelaku.
Kalau hal ini terjadi, maka dapat dikatakan bahwa kalau perlu peru akibat yang terang tidak dikehendaki dan hanya mungkin akan terjadi itu, akan dipikul pertanggungjawabannya oleh si pelaku jika akibat kemudian toh terjadi.
Menurut Hazewinkel-Suringa (halaman 84) adalah fumula dari penulis Frank.
Saya tanya, bagaimana dapat ditentukan isi batiniah si pelaku yang sangat rumit ini, secara perumpamaan belaka. Dan, kalau ini toh boleh ditentukan oleh seorang hakim, ada kekhawatiran bahwa terlalu mudah siadakan ketentuan ini sehingga mungkin sekali suatu hubungan kesalahan (schuldverband) yang sebetulnya hanya merupakan culpa atau kurang berhati-hati, dianggap sudah merupakan kesengajaan.
Mengingat kekhawatiran ini, maka seorang hakim harus sangat berhati-hati dalam hal ini. Jika dalam suatu pasal suatuperbuatan hanya dilarang apabila dilakukan dengan sengaja, seperti halnya dengan pasal 406 KUHP tentang merusak barang orang lain, maka hanya ada dua alternatif.
Jika kesengajaan dianggap ada, dihukum; dan perbuatan itu dengan culpa dihukum juga, tentunya dengan hukuman ringan; dan perbuatan tanpa sengaja dan tanpa culpa, tidak dihukum.
Misalnya, dalam hal mengakibatkan matinya orang lain, jika ada kesengajaan berlaku pasal 338 KUHP dengan hukuman penjara setinggi-tingginya 15 tahun: kalau hanya ada culpa, berlaku pasal 359 KUHP dengan hukuman setinggi-tingginya 5 tahun penjara.
Kecenderungan untuk mudah adanya kesengajaan, saya rasa terletak pada perasaan orang biasa bahwa suatu perubuatan yang menyebabkan kematian orang lain, meskipun hanya dilakukan dengan culpa pelaku itu harus dihukum berat.
Dulu, pada waktu oleh pasal 359 KUHP masih diancamkan hukuman penjara setinggi-tingginya satu tahun, dapat dimengerti bahwa ada kecenderungan untuk mudah menganggap adanya kesengajaan.
Tetapi sekarang, karena perbuatan culpa yang mengakibatkan kematian orang sudah dapat dikenakan hukuman penjara 5 tahun, maka tidak begitu perlu ada kecenderungan untuk mudah menggap adanya kesengajaan.
2. Hubungan Antara Kesengajaan Dengan Sifat Melanggar Hukum
Di atas sudah saya katakan bahwa kesengajaan juga dpat mengenai “sifat melanggara hukum” atau wederrechtelijkheid. Artinya, bahwa ada persoalan apakah dalam suatu tindak pidanasi pelaku harus tahu bahwa tindakannya dilarang oleh hukum pidana.
Memang ada semboyan yang menatakan bahwa setiap orang harus dianggap mengetahui isi dari undang-undang, jadi dianggap tahu apakan suatu perbuatan dikenai hukuman pidana atau tidak.
Kalau semboyan ini dilakukan, maka harus diperhatikan adanya kenyataan bahwa ada pasal dalam KUHP, seperti misalnya pasal 406 yang melarang seseorang merusak barang milik orang lain opzettelijk en wederrechtelijk (dengan sengaja dan dengan melanggar hukum).
Perumusan ini menunjukkan bahwa kesengajaan si pelaku tidak mengenai “sifat melanggar hukum”. Maka, orang dapat di hukum meskipun ia tidak tahu bahwa perbuatannya melanggar hukum.
Di samping pasal semacam ini, ada pasal 333 KUHP yang melarang orang merampas kemerdekaan orang opzettelijk wederrechtelijk, jadi tanpa kata en. Dengan demikian, unsur “sifat melanggar hukum” diliputi olehunsur kesengajaan; maka orang itu baru dapat dihukum apabila ia tahu bahwa perbuatanya melanggar hukum.
Tentang hal ini, menurut Hazewinkel-Suringa (halaman 97-98) ada tiga pendapat.
Pendapat ke-1, dianut oleh Van Hamel, Simons, dan Pompe, menghendaki perbedaan antara dua macam perumusan seperti diuraikan diatas. Pendapat ini ada keberatanya karena dalam hal ada kata en, kata-kata opzet dan wederrechtelijk mungkin dirasakan tidak adil apabila seseorang toh dihukum meskipun mengira benar-benar bahwa ia tidak melanggar hukum.
Semboyan “setiap orang dianggap tahu isi undang-undang” justru dapat diartikan bahwa apabila in concreto orang benar-benar tidak tahu isi undang-undang yang mngandung tindak pidana, orang itu tidak pantas dihukum.
Pendapat ke-2 mnganggap dihilangkannya kata en tidak ada artimya, dan menganggap dua macam perumusan ini seolah-olah keduanya tetap dengan kata en.
Mudah dapat dimengerti bahwa keberatan tersebut di atas terhadap pendapat ke-1 malahan bertambah. Kiranya ini sebabnya Hazewinkel-Suringa tidak menyebutkan nama penulis yang menganut pendapat ke-2 ini.
Pendapat ke-3 yang dianut oleh Van Zevenbergen dan Langemeyer menganggap sebaliknya, yaitu penambahan kata en tidak ada artinya. Jadi, tidak mungkin ada keberatan tersebut di atas terhadap pendapat ke-1.
Perlu diketahui pendapat ke-1 dalam hal menemukan suatu ketidakadilan apabila seseorang harus dihukum meskipun mengira benar-benar tidak melanggar hukum, masih dapat memperoleh jalan keluar bagi pihak penuntut atau kejaksaan untuk tidak menuntut berdasar prinsip oportunitas.
3. Culpa
Culpa adalah kesalahan pada umumnya, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak berat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati sehingga akibat yang tidak di sengaja terjadi.
Seperti di atas telah dikatakan, biasanya tindak pidana berunsur kesengajaan. Akan tetapi ada kala suatu akibat dari suatu tindak pidana begitu berat merugikan kepentingan seseorang, seperti kematian seorang manusia, sehingga dirasakan tidak adil, terutama oleh keluarga yang meninggal bahwa si pelaku yang dengan kurang hati-hati menyebabkan kematian itu tidak diapa-apakan.
Ini misalnya dalam praktek tampak apabila sering terjadi seorang pengendara mobil menabrak orang sehingga meninggal oleh banyak orang yang mengetahui tabrakan itu dikeroyok hingga babak-belur.
Maka, timbul adanya beberapa culpoos delicten, yaitu tindak-tindak pidana yang berunsur culpa atau kurang hati-hati ini. Akan tetapi hukumannya tidak seberat seperti hukuman terhadap doleuze delicten, yaitu tindak pidana yang berunsur kesengajaan.
Contoh lain dari suatu culpoos delict adalah yang termuat dalam pasal 188 KUHP, yaitu menyebabkan kebakaran, peledakan, atau banjir dangan kurang hati-hati.
Timbul pertanyaan sampai mana ada kurang hati-hati sehingga si pelaku harus dihukum?
Hal kesengajaan tidak menimbulkan pertanyaan ini karena kesengajaan adalah berupa suatu keadaan batin yang tegas dari seorang pelaku, seperti yang telah digambarkan di atas dengan adanya tiga macam kesengajaan.
Lain halnya dengan kurang hati-hati, yang sifatnya bertingkat-tingkat. Ada orang yang dalam melakukan suatu pekerjaan sangat berhati-hati, ada yang tidak begitu berhati-hati, ada yang kurang lagi, ada yang lebih kurang lagi, sehingga menjadi serampangan atau ugal-ugalan.
Menurut para penulis Belanda, yang dimaksud dengan culpa dalam pasal-pasal KUHP adalah kesalahan yang agak berat. Istilah yang mereka gunakan adalah grove schuld (kesalahan kasar).
Meskipun ukuran grove schuld ini belum tegas seperti kesengajaan, namun dengan istilah sudah ada sekedar ancar-ancar bahwa tidak masuk culpa apabila seorang pelaku tidak perlu sangat berhati-hati untuk bebas dari hukuman.
Juga merata antara para penulis suatu pendapat bahwa untuk culpa ini harus di ambil sebagai ukuran bagaiman kebanyakan orang dalam masyarakat bertindak dalam keadaan yang in concreto terjadi.
Oleh karena itu, tidaklah digunakan sebagai ukuran seorang yang sangat berhati-hati, dan juga tidak seorang yang selalu serampangan dalam tindak-tanduknya.
Dengan demikian, seorang hakim juga tidak boleh menggunakan sifat sendiri sebagai ukuran, melainkan sifat kebanyakan orang dalam masyarakat. Akan tetapi, praktis tentunya ada peranan penting yang bersifat pribadi sang hakim sendiri. Ini tidak dapat dielakkan.
4. Culpa Khusus
Ada kalanya suatu culpa ditentukan tidak untuk akibat dari tindak pidana, tetapi mengenai hal yang menyertai akibat itu. Conto adalah pasal 480 KUHP mengenai tindak pidana penadahan atau heling.
Kini dilarang seseorang membeli, menyewa, menukar, mengambil gadai, atau menjual dengan tujuan mengambil keuntungan (winst-bejag) suatu barang yang ia tahu atau sepantasnya harus dapat mengira bahwa barang itu diperoleh dari kejahatan.
Perbuatannya dengan akibatnya dapat dikatakan harus sengaja, tetapi tentang asal barangnya ada dua alternatif, kesengajaan atau culpa. Juga tidak perlu juga ada tujuan seorang pelaku untuk khusus mencari barang curian.
Tujuan ini mungkin ada jika terjadi yang dirumuskan dalam pasal 481 KUHP, yaitu melakukan penadahan ini sebagai kebiasaan yang diancam dengan hukuman lebih berat.
5. Kelalaian
Jika pengertian culpa dapat disamakan dengan kelalaian, maka dalam perundang-undangan Mojopahit yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Slamet Muljono tampak pandangan agak lain mengenai hubungan kelalaian dengan kesengajaan.
Kalau dalam KUHP culpa hanya sedikit disyaratkan bagi tindak pidana, dan hampir hampir disebutkan setelah dalam pasal yang mendahului disebutkan dalam tindak pidana yang sama, maka dalam perundang-undangan Mojopahit perhatian lebih diutamakan pada kelalaian daripada kesengajaan.
Pada pasal-pasal 247-253 dari perundang-undangan itu terkumpul dalam suatu bagian yang berjudul “kelalaian”. Dalam pasal-pasal itu yang dibicarakan hampir semata-mata hal kelalaian.
Hanya dalam pasal 250 disebutkan hal kesengajaan di samping hal kelalaian; pasal tersebut berbunyi:
"Barang siapa diserahi menjaga kerbau atau sapi, jika lalai, dikenakan denda selaksa (10.000), sedangkan tiap binatang ditaksir berharga delapan tali. Jika sengaja dirampas oleh yang diserahi, dikenakan denda dua laksa oleh raja yang berkuasa".
Dalam pasal tersebut, hal kelalaian diperlakukan secara primer, sedangkan hal kesengajaan hanya secara subsidier sebagai hal yang memberatkan hukumnya sampai dua kali lipat.
6. Tiada Hukuman Tanpa Kesalahan (Geen Strafzonder Schuld)
Pasal-pasal KUHP mengenai tindak-tindak pidana yang masuk golongan “kejahatan” atau misdrijven terbuat dalam Buku II KUHP selalu mengandung unsur “kesalahan”, baik sengaja maupun culpa.
Lain halnya dengan tindak-tindak pidana yang masuk golongan “pelanggaran” atau overtredingen, termuat dalam Buku III KUHP. Di situ tidak ada suatu penyebutan unsur “kesengajaan”, baik kesengajaan maupun culpa.
Ada beberapa pasal yang mempergunakan kata kerja yang dalam arti mengandung unsur kesengajaan, seperti:
- Menghasut (aanhitsen) seekor hewan agar menyerang seorang manusia atau seekor hewan lain yang menarik suatu kendaraan (pasal 490 ke-1 KUHP).
- Mengemis di tempat umum (bedelen in het openbaar) (pasal 490 ke-1 KUHP).
- Berjalan atau berkendaraan tanpa hak pada sebidang tanah yang memasukinya oleh yang berhak dilarang dengan cara yang terang bagi si pelaku (pasal 551 KUHP).
- Membakar bangunan miliknya sendiri tanpa izin penguasa setempat (pasal 496 KUHP).
Juga terdapa beberapa pasal yang menyebutkan unsur culpa, misalnya pasal 490 ke-3 KUHP yang mengancam dengan hukuman pidana seorang yang tidak menjaga sepantasnya agar suatu hewan galak yang ada di bawah pengawasannya tidak membahayakan.
Dengan sedikit kekecualian, maka dari pengurusan pasal-pasal Buku III KUHP ini tidak ditemukan unsur kesalahan. Kenyataan ini dulu menimbulkan suatu pendapat yang dalam hal “pelanggaran” menganggap seseorang dapat dihukum karena melakukan perbuatan belaka tanpa kesalahan (materieel feit, fait materelle).
Pendapat ini sejak semula ditentang oleh banyak orang yang berpendapat bahwa seseorang tidak mungkin seseorang dapat dihukum tanpa kesalahan sedikit pun. Baru pada 14 Februari 1916 ada suatu putusan dari Pengadilan Tinggi di Belanda (Hoge Raad) yang secara tegas membenarkan pendapat yang dua ini yang menganut semboyan “tiada hukuman tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld).
Perkaranya dalah sebagai berikut. Di Amsterdam ada suatu peraturan daerah yang melarang dengan ancaman hukuman pidana bagi orang yang mengasuh susu perah untuk menyerahkan kepada para pelanggan susu sapi murni yang sebenarnya dicampuri denga bahan lain, biasanya dengan air.
Terjadi palanggaran peraturan itu, dan yang terlibat adalah dua orang, yaitu si pengusaha susu A dan seorang pembantu B dibebaskan karena ia dianggap tidak tahu-menahu tentang pencampuran susu dengan air tersebut, dan pengusaha A dihukum sebagai doen plegen (menyuruh berbuat) si B untuk menyerahkan susu yang telah tercampuri air itu.
Doen plegen (menyuruh berbuat) termuat dalam pasal 55 ayat 1 nomor 1 KUHP berarti bahwa di pelaku yg di suruh (si pembantu B) tidak dapat di hukum. Lain dengan “membujuk” (uitloken) dari pasal 55 ayat 1 nomor 2 KUHP, di mana orang yang dibujuk dapat dihukum juga.
Jadi kini Pengadilan Arrodissments-rechtbank di Amsterdam terhadap pembantu B sama sekali tidak ada kesalahan.
Pengusaha A yang dihukum tadi meminta kasasi kepada Hoge Raad dan mengutarakan bahwa B harus dapat dihukum karena peraturan hukum pidana yang bersangkutan (peraturan daerah) tidak mensyaratkan adanya suatu kesalahan dari si B.
Dengan demikian, pengusaha A menganut prinsip materieel feit. Sebagai konsekuensi dari penghukuman si B, maka si A tidak dapat dipersalahkan doen plegen (menyuruh buat) si B, maka si A harus bebas secara ontslag van chtsvervolging atau dilepas dari segala tuntutan karena perbuatannya tidak merupakan suatu tindak pidana.
Hoge Raad benar menolak permohonan Kakasi dari A dan menegaskan bahwa sudah benar si B tidak dapat dihukum karena pada si B sama sekali tidak ada kesalahan sedikit pun.
Di samping itu, ditegaskan bahwa putusan ini ditegaskan berdasarkan atas prinsip “tiada hukuman pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld) yang harus dituntut dalam menjalankan hukum pidana, kini aturan mengenai tindak pidana yang masuk golongan “pelanggaran”.
Putusan Hoge Raad ini oleh penulis Belanda dianggap sebagai patokan untuk membenarkan prinsip “tiada hukuman tanpa kesalahan”.
Saya rasa, prinsip ini juga harus dituntut di Indonesia, tidak semata-mata oleh karena KUHP Indonesia sebagai induk hukum pidana adalah tangan hak asasi manusia apabila dimungkinkan seseorang dijatuhi hukuman pidana meskipun terang sama sekali tidak ada kesalahan kerohanian dari pihak pelaku.
Bagi saya, adalah sangat menarik pertimbangan dari Hoge Raad yang pada akhirnya memajukan rechtsgevoel atau “rasa keadilan” sebagai alasan untuk menganggap berlakunya prinsip “tidak ada hukum pidana tanpa kesalahan”.
Ini cocok dengan sifat saya pada umumnya dalam meninjau hukum pada umumnya. Lihat Van Hattum, yang dalam bukunya halaman 296 mengatakan: als enigargument noemt het College (Hoge Raad) het rechtsgevoel (sebagai satu-satunya alasan oleh Hoge Raad disebutkan rasa keadilan).
Demikian juga Mahkamah Agung Indonesia dalam putusannya tanggal 13 April 1957 yang termuat dalam majalah Hukum tahun 1957 nomor 7-8 halaman 13-9 menganggap berlakunya prinsip ini di Indonesia sebagai sesuai rasa keadilan.
Van Haatum meneliti benar-benar pertimbangan-pertimbangan dari Hoge Raad, dan berkesimpulan bahwa Hoge Raad tidak menolak adanya kemungkinan bahwa pembentukan undang-undang mengenai suatu tindak pidana tertentu secara tegas menyimpang dari prinsip “tiada hukum pidana tanpa kesalahan”.
Dengan demikian, prinsip ini menurut Hoge Raad tidak bersifat mutlak.
7. Error
Error (Dwaling) adalah kesalah pahaman, yang terdiri atas:
1. Kesalah pahaman yang sebenarnya (Fetelijke dwaling)
Kesalahpahaman salah satu unsur dari delict. Misalnya A melihat suatu barang yang ingin dimilikinya. Ia kira bahwa barang itu milik orang lain, lalu barang itu diambilnya. A beranggapan ia mencuri barang itu, tetapi ternyata kemudian, bahwa barang itu memang akan dihadiahkan kepada oleh si B. Jadi barang itu milik A.
Dalam hal ini, maka barang orang lain tidak terpenuhi, tetapi A mengambil barangnya sendiri, sebelum diberikan oleh B kepadanya sebagai hadiah.
2. Kesalah pahaman dibidang hukum (Rechtdwaling)
A melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Tetapi A tidak mengetahui bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan yang terlarang. Dalam hal ini berdasarkan Fictie maka A tetap dapat pidana.
Dalam bahasa Romawi, dwaling disebut error.
Error (dwaling) dapat berupa:
- Error in Objecto, yaitu mengenai barang/objek yang menjadi tujuan perbuatan yang terlarang. Sebagai contoh A bermaksud membunuh B secara terang-terangan, akan tetapi A tidak berani, sehingga ia mengintai B kapan ia pulang kerumahnya. Kemudian A mengethui bahwa hampir tiap malam B pulang pada malam hari pukul 21.00 wib. Setelah itu A pada malam berikutnya bersembunyi dekat rumah B, tepat pukul 21.00 WIB, A mendengar ada orang datang, dikira A adalah B. Lalu ia keluar dan melakukan pembunuhan terhadap orang itu. Tetapi ternyata orang yang dibunuh A bukanlah B, melainkan C yang bukan objek sasaran A. Apabila B yang terbunuh A diancam dengan pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP). Karena yang terbunuh C, maka A dapat dipidana berdasarkan pasal 338 KUHP (pembunuhan) biasa. Kasus A ini merupakan Error in Obejcto. A tidak dapat dipidana.
- Error In Persona adalah kekeliruan mengenai orang (persoon), yang menjadi tujuan perbuatan terlarang. Sebagai contoh A bermaksud membunuh seorang pejabat. Kemudian ia melaksanakan niatnya, tetapi yang tertembak bukanlah pejabat itu. Dalam hal ini A tidak dapat dipidana berdasarkan ketentuan pasal 349 KUHP, tetapi dapat dipidana berdasarkan ketentuan pasal 338 KUHP. Dalam contoh diatas, bahwa telah terjadi Error in persona, namun terhadap pelakunya, walaupun orang yang menjadi tujuan/sasaran keliru, tetap dapat dipidana. Contoh lain: A berniat membunuh B karena dendam. Selanjutnya A mendatangi rumah B, setibanya didepan rumah B kira-kira pukul 20.00 wib, diteras B ada seseorang laki-laki yang sedang membaca koran dan terlihat oleh A ini adalah B, langsung A dengan cepat membacok orang tersebut berkali-kali, ternyata orang itu bukanlah B, tetapi anak B yang mirip dengannya, yaitu si C. Disini terjadi Error in pesona. Kekeliruan terhadap orangnya, tetapi A tetap dapat dipidana karena ia telah membunuh C.
Error berkaitan erat dengan kesengajaan Opzet, karena pada saat melaksanakan kejahatan telah terdapat unsur opzet (kesengajaan), walaupun terjadi kekeliruan terhadap objek dan orang yang menjadi korban kejahatan.
Note: Untuk menuntaskan bab kedua materi mata kuliah Hukum Pidana ini. Silahkan klik tombol berikut untuk lanjut ke sesi berikutnya. 👇👇👇
Post a Comment
Post a Comment