Situs Hukum - Hal-hal yang menyebabkan hapusnya hak negara untuk menjalankan pidana yaitu karena meninggalnya si terpidana, daluarsa dan grasi.
Ulasan selengkapnya, mari kita simak di bawah ini!
A. Hapusnya Hak Negara untuk Menuntut Pidana
Penuntut Umum dalam hal-hal tertentu tidak mempunyai hak untuk menuntut pidana terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana dikarenakan beberapa hal yaitu:
- Ne bis in idem (Pasal 76)
- Meninggalnya si pembuat (Pasal 77)
- Lampau waktu atau kadaluarsa (Pasal 78-80)
- Penyelesaian di luar pengadilan, yaitu dengan dibayarnya denda maksimum dan biaya-biaya bila penuntutan telah dimulai (Pasal 82: bagi pelanggaran yang hanya diancam pidana denda)
1. Ne bis in idem
Pasal 76 ayat (1) KUHP menentukan:
"Kecuali dalam hal keputusan hakim masih boleh diubah lagi, maka orang tidak boleh dituntut sekali lagi lantaran perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim Negara Indonesia, dengan keputusan yang tidak boleh diubah lagi. Yang dimaksudkan disini dengan hakim Negara Indonesia, ialah juga hakim dalam negeri yang rajanya atau penduduk Indonesianya berhak memerintah sendiri, demikian juga di negeri yang penduduk Indonesianya, dibiarkan memakai ketentuan pidana sendiri”.
Asas ini ne bis in idem ini berarti orang tidak boleh dituntut sekali lagi lantaran perbuatan (peristiwa) yang baginya telah diputuskan oleh hakim.
Ne bis in idem melarang negara untuk menuntut kedua kalinya terhadap si pembuat yang perbuatannya telah diputus oleh pengadilan yang putusan mana telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewiwijsde) ialah putusan yang tidak dapat lagi dilawan dengan upaya hukum biasa, upaya tersebut yaitu perlawanan (verzet), banding, dan kasasi.
Sedangkan upaya hukum luar biasa yaitu seperti yang disebut dalam Pasal 76 ayat (1) dengan kalimat: ”...putusan hakim masih mungkin diulangi” ini dikenal dengan peninjauan kembali (Pasal 263-269) KUHAP). Kasasi untuk kepentingan hukum termasuk juga upaya hukum luar biasa (Pasal 259-262 KUHAP).
Tujuan dari larangan bagi negara untuk menuntut lagi si pelaku setelah ada putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap yaitu untuk tercapainya kepastian hukum atas suatu kasus pidana baik bagi si pelaku, negara maupun masyarakat atau pihak pihak lain yang berhub dengan dengan kasus tersebut.
Pasal 76 ayat (1) mensyaratkan dua hal penting untuk dapat diberlakukannya asas ne bis in idem tersebut yaitu: pertama, perbuatannya harus sama, termasuk di dalamnya ialah mengenai waktunya dan tempatnya yang sama; dan kedua si pelaku haruslah orang yang sama.
2. Meninggalnya si Pelaku
Pasal 77 menentukan bahwa:
"kewenangan menuntut pidana hapus jika terdakwa meninggal dunia”.
Aturan ini berdasarkan alasan sifat personal dari pertanggung jawab pidana dan pembalasan dari suatu pidana, sehingga tidak diperlukannya lagi pidana bagi pelaku pidana yang sudah meninggal.
Hal ini berarti bahwa jika si pelaku meninggal dunia sebelum dijatuhkan pidana maka tidak diperlukan lagi tindakan penuntutan yang bertujuan menjatuhkan pidana bagi si pelaku.
Hal ini didasarkan bahwa tidak ada manfaat apa-apa hukuman bagi si pelaku pidana yang sudah meninggal tersebut. Walaupun demikian, Pasal 77 tersebut dapat disimpangi, hal ini dapat dilihat misalnya dalam tindak pidana ekonomi Undang-undang Darurat No 7 tahun 1955.
Pasal 16 undang-undang tersebut merumuskan "jika cukup alasan untuk menduga, bahwa seseorang yang meninggal dunia, sebelum atau perkaranya ada putusan yang tidak dapat diubah lagi, telah melakukan tindak pidana ekonomi maka hakim atas tuntutan penuntut umum dengan putusan pengadilan dapat:
a. Memutus perampasan barang-barang yang telah disita. Dalam hal itu Pasal 10 undang-undang darurat ini berlaku sepadan;
b. Memutus bahwa tindakan tata tertib yang disebut pada Pasal 8 sub c dan dilakukan dengan memberatkannya pada harta orang yang meninggal dunia tersebut.
Demikian juga halnya Pasal 33 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menentukan bahwa ”apabila tersangka pada saat dilakukan penyidikan meninggal dunia, yang secara nyatatelah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara yang bersangkutan kepada Jaksa Pengacara Negara atau kepada Instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya”.
Selanjutnya, Pasal 33 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut juga menentukan bahwa apabila kematian itu terjadi pada saat proses pemeriksaan pengadilan sedang berlangsung, dan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka Jaksa Penuntut Umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang kepada Jaksa Pengacara Negara atau instansi yangdirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya”.
Pasal 38 ayat (5) undang-undang ini juga merupakan pengecualian Pasal 77 KUHP yaitu ”dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat alat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita”.
3. Lampau Waktu atau Kadaluarsa (Verjaring)
Hak negara untuk menuntut si pelaku tindak pidana menjadi hapus karena lampau waktu. Tujuan dari penghapusan hak negara untuk menuntut dikarenakan lewatnya waktu yang sudah ditentukan KUHP yaitu untuk memberikan kepastian hukum bagi setiap kasus pidana, agar si pelaku tidak selama-lamanya ketentraman hidupnya diganggu tanpa batas waktu oleh ancaman penuntutan oleh negara yang tidak mengenal daluarsa.
Hal ini didasarkan pada Pasal 78 ayat (1), yang menentuka bahwa kewenangan menuntut pidana menjadi gugur dalam tenggang waktu tertentu, yaitu:
a. Untuk semua tindak pidana pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, sesudah satu tahun;
b. Untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;
c. Untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun;
d. Untuk tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun, sesudah delapan belas tahun.
e. Bagi pelaku yang masih anak-anak saat melakukan tindak pidana yang umurnya belum delapan belas tahun, menurut Pasal 78 ayat (2) maka daluarsa hapusnya penuntutan pidana adalah dikurangi sepertiga dari ketentuan pada ayat pertama Pasal 78 ayat (1)
Tenggang daluarsa hapusnya kewenangan penuntutan pidana itu berdasarkan Pasal 79 menentukan bahwa secara umum tenggang daluarsa tersebut dihitung pada hari sesudah dilakukannya perbuatan, kecuali dalam tiga hal, yaitu:
a. Mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, adalah pada hari sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak itu digunakan;
b. Mengenai kejahatan dalam Pasal-pasal: 328, 329, 330 dan 333, dimulainya adalah pada hari sesudah orang yang langsung terkena kejahatan (korban) dibebaskan atau meninggal dunia;
c. Mengenai pelanggaran dalam Pasal 556 sampai dengan Pasal 558a, adalah dimulai pada hari sesudah daftar-daftar yang memuat pelanggaran-pelanggaran itu telah disampaikan atau diserahkan pada Panitera Pengadilan yang bersangkutan.
4. Penyelesaian di Luar Pengadilan
Pasal 82 memungkinkan suatu perkara pidana tertentu dengan cara tertentu dapat diselesaikan tanpa harus menyidangkan si pembuatnya dan menjatuhkan pidana kepadanya. (Chazawi, 2002:182).
Adapun perkara yang dapat diselesaikan diluar pengadilan yaitu hanya terbatas pada perkara pidana pelanggaran yang diancam dengan pidana denda saja, dengan cara ”secara sukarela si pembuat membayar maksimum denda dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau penuntutan telah dimulai”.
Pembayaran denda maksimum dan biaya-biaya tersebut maka hapuslah kewenangan negara untuk melakukan penuntutan pidana terhadap si pelaku. Lembaga ini disebut afkoop atau penebusan tuntutan pidana.
Pasal 82 KUHP yang memperkenalkan lembaga ini adalah bertujuan untuk alasan praktis-ekonomis belaka.
B. Hapusnya Hak Negara untuk Menjalankan Hukuman
Meskipun suatu putusan pemidanaan telah mempunyai kekuatan hukum, ada dua hal yang menyebabkan hapusnya hak negara untuk menjalankan pidana dalam KUHP.
Pertama, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 83 KUHP yaitu karena meninggalnya si terpidana dan kedua, karena daluarsa yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 84 KUHP.
Sedangkan dasar hapusnya hak negara menjalankan pidana di luar KUHP adalah grasi yang diberikan oleh presiden dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (Pasal 14 UUD 1945 jo UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi.
1. Meninggalnya Terpidana
Pasal 83 KUHP menentukan bahwa ”kewenangan menjalankan pidana hapus jika terpidana meninggal dunia”.
Sama halnya dengan sebab hapusnya hak negara untuk menuntut si pelaku karena alasan kematian si pelaku, kematian sebagai dasar peniadaan pelaksanaan pidana berpijak pada sifat pribadi dari pertanggungan jawab dalam hukum pidana dan pembalasan dari suatu pidana.
Orang yang harus menanggung akibat hukum dari tindak pidana yang diperbuatnya adalah si pembuatnya sendiri, dan tidak pada orang lain.
Setelah si pembuat yang harus memikul segal akibat hukum itu meninggal dunia, maka secara praktis pidana tidak dapat dijalankan.
2. Kadaluarsa
Pasal 84 ayat (1) menentukan bahwa ”kewenangan menjalankan pidana hapus karena daluarsa”. Dengan demikian kewajiban terpidana untuk menjalani atau melaksanakan pidana yang telah dijatuhkan kepadanya menjadi hapus setetlah lewatnya waktu tertentu.
Ketentuan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi terpidana maupun bagi negara.
Lamanya tenggang waktu untuk menjadi kadaluarsa hapusnya kewenangan negara menjalankan pidana tidak lah sama untuk semua tindak pidana. Pasal 84 ayat (2) menetapkan tenggang daluarsa sebagai berikut:
a. Mengenai semua pelanggaran lamanya adalah 2 (dua) tahun.
b. Mengenai kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan sarana percetakan lamanya adalah 5 (lima) tahun.
c. Mengenai kejahatan-kejahatan lainnya lamanya sama dengan tenggang daluarsa bagi hapusnya kewenangan dalam hal penuntutan pidana, ditambah dengan sepertiganya. Artinya bagi kejahatan-kejahatan lainnya ini ialah:
- Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun, sesudah 8 (delapan) tahun (6 tahun ditambah 1/3nya).
- Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari 3 (tiga) tahun, sesudah 16 (enam belas) tahun ( 12 tahun ditambah 1/3nya).
- Sedangkan mengenai hak negara dalam menjalankan pidana mati tidak dibatasi oleh lampaunya waktu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 84 ayat (4) KUHP. Dengan demikian, negara memiliki hak untuk menghukum si terpidana mati sepanjang si terpidana masih hidup namun apabila ia telah meninggal maka hak menjalankan pidana akan hapus.
Pasal 85 ayat (3) menentukan saat mulai berlakunya tenggang daluarsa hapusnya hak negara menjalankan pidana, yaitu:
a. Dalam hal keadaan biasa, mulai berlaku pada esok harinya setelah putusan hakim dapat dijalankan.
b. Dalam hal terpidana sedang menjalani pidana, kemudian dia melarikan diri, maka pada esok harinya dari melarikan diri itu mulai berlaku tenggang daluarsa yang baru.
c. Dalam hal diberikan pelepasan bersyarat yang kemudian pelepasan bersyarat itu dicabut, maka keesokan harinya setelah pencabutan itu mulai berlaku tenggang daluarsa yang baru.
d. Dalam hal majelis Hakim menjatuhkan pidana dengan ketetapan bersyarat. Apabila terpidana terbukti melanggar syarat yang telah ditentukan, maka pengadilan akan mengeluarkan surat ketetapan untuk menjalankan pidana. Tenggang daluarsa dihitung mulai keesokan harinya sesudah surat ketetapan itu dikeluarkan.
Berjalannya tenggang daluarsa hak negara untuk menjalankan pidana ada kemungkinan dapat dilakukan penundaan karena perintah undang-undang, misalnya dalam hal terpidana melakukan upaya hukum grasi (Pasal 3 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1950).
Demikian juga dalam hal terpidana selama dirampas kemerdekaannya (ditahan sementara), meskipun perampasan kemerdekaan itu berhubung dengan pemidanaan lain sebagaimana diatur dalam Pasal 85 ayat (3).
3. Pemberian Grasi
Dasar hapusnya hak negara menjalankan pidana di luar KUHP adalah grasi yang diberikan oleh presiden dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (Pasal 14 UUD 1945 jo UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi.
Pemberian grasi ialah diberikan kepada orang yang telah dipidana dengan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pengajuan grasi oleh pemohon dari segi hukum yang telah dinyatakan bersalah mengandung makna bahwa pemohon memohon ampun dengan mengakui kesalahannya karena jika dia tidak mengajukan grasi maka ia akan mengajukan permohonan peninjauan kembali.
Bibliografi
- Soesilo. 1988. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politea.
- Adami Chazawi. 2007. Pelajaran Hukum Pidana (Bagian 2). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Anda kini sudah mencapai bagian akhir dalam menuntaskan pembahasan Bab V (kelima) yang merupakan materi dari mata kuliah Hukum Pidana. Silahkan klik tombol di bawah ini untuk memilih bab selanjutnya. 👇👇👇
Post a Comment
Post a Comment