Situs Hukum - Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan kamu nantinya mampu memahami ajaran kausalitas dalam hukum pidana sebagai salah satu ajaran yang sangat penting dalam hubungannya siapa yang dapat dipertanggungjawabkan atas pelanggaran pidana.
Mari simak uraiannya di bawah ini!
Pentingnya Ajaran Kausalitas
Apabila dilihat dari cara merumuskannya, maka tindak pidana dapat dibedakan antara (1) tindak pidana yang dirumuskan secara formil, disebut dengan tindak pidana formil (formeel delicten), dan (2) tindak pidana yang dirumuskan secara materiil, disebut dengan tindak pidana materiil (materieel delicten).
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan dengan melarang melakukan tingkah laku tertentu. Artinya dalam rumusan itu secara tegas disebutnya wujud perbuatan tertentu yang terlarang.
Perbuatan tertentu inilah yang menjadi pokok larangan dalam tindak pidana formil. Dalam hubungannya dengan penyelesaian tindak pidana formil, kriterianya ialah pada perbuatan yang dilarang tersebut.
Apabila perbuatan terlarang selesai dilakukan, maka selesai pulalah tindak pidana tanpa melihat atau bergantung pada akibat apa dari perbuatan itu.
Contohnya pencurian (362), apabila perbuatan mengambil selesai, maka pencurian itu selesai. Tindak pidana materiil ialah tindak pidana yang dirumuskan dengan melarang menimbulkan akibat tertentu disebut akibat terlarang. Titik beratnya larangan pada menimbulkan akibat terlarang (unsur akibat konstitutif).
Walaupun dalam rumusan tindak pidana disebut juga unsur tingkah laku (misalnya menghilangkan nyawa pada pembunuhan: 338 atau menggerakkan pada penipuan: 378), namun untuk penyelesaian tindak pidana tidak bergantung pada selesainya mewujudkan tingkah laku, akan tetapi apakah wujud dari tingkah laku telah menimbulkan akibat terlarang ataukah tidak.
Pada pembunuhan (338) hilangnya nyawa orang lain, atau pada penipuan telah menimbulkan akibat orang menyerahkan benda, membuat hutang atau menghapuskan piutang. Mewujudkan tingkah laku menghilangkan nyawa, misalnya dengan wujud konkritnya menusuk (dengan pisau) tidaklah demikian melahirkan tindak pidana pembunuhan, apabila dari perbuatan menusuk itu tidak melahirkan akibat matinya korban.
Dalam hal percobaan tindak pidana materiil juga digantungkan pada unsur akibat konstitutif, bukan pada tingkah laku. Tingkah laku telah diwujudkan misalnya melepas tembakan, tetapi dari wujud tingkah laku itu tidak atau belum menimbulkan akibat terlarang yakni matinya korban, maka yang terjadi barulah percobaan pembunuhan (Pasal 338 jo 53).
Dalam hal terwujudnya tindak pidana materiil secara sempurna diperlukan 3 syarat esensial, yaitu:
- terwujudnya tingkah laku
- terwujudnya akibat (akibat konstitutif atau constitutief gevolg), dan
- ada hubungan kausal (causal verband) antara wujud tingkah laku dengan akibat konstitutif.
Tiga syarat itu adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan untuk terwujudnya tindak pidana materiil atau tiga syarat diatas adalah kumulatif. Untuk menentukan terwujudnya tingkah laku dengan terwujudnya akibat tidak lah sulit.
Akan tetapi untuk menentukan bahwa suatu akibat yang timbul itu apakah benar disebabkan oleh terwujudnya tingkah laku adalah hal yang sulit dikarenakan seringkali timbulnya suatu akibat tertentu disebabkan oleh banyak faktor yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya.
Contoh, seorang bapak mengendarai sepeda motor hendak menyeberang-mengambil jalur yang lain dengan berbelok ke kanan tanpa memperhatikan kendaraan dari arah belakang, dan ketika itu ada sebuah mobil yang melaju dari arah belakang.
Menghadapi keadaan seperti itu si pengendara mobil menginjak rem sekuat tenaga sehingga mengeluarkan suara gesekan ban dijalan yang keras, yang menyebabkan bapak tadi terkejut. Walaupun mobil tidak sampai menabrak/membentur keras sepeda motor, namun tiba-tiba di depan mobil yang telah berhenti dan masih duduk diatas sadel sepeda motornya,bapak itu rubuh dan jatuh pingsan.
Kemudian segera dilarikan ke rumah sakit. Di rumah sakit ia tidak segera mendapatkan pertolongan, setengah jam kemudian meninggal dunia. Hasil penyidikan menentukan bahwa si pengendara mobil dissangka kurang hati-hati yang menyebabkan orang meninggal dunia (Pasal 359).
Di samping itu hasil otopsi menentukan bahwa kematian korban karena seranngan jantung karena si korban mengidap penyakit jantung yang sewaktu-waktu dapat kambuh dan meyebabkan kematian.
Contoh kasus diatas menunjukkan bahwa terdapat kesulitan dalam praktik hukum untuk menentukan ada tidaknya hubungan kausal antara wujud perbuatan (pada contoh di atas: mengemudikan kendaraan dengan tiba-tiba menginjak rem) dengan akibat yang timbul yang menyebabkan kematian bapak tadi.
Pada peristiwa di atas, terdapat beberapa faktor yang berpengaruh sehingga pada ujungnya menimbulkan kematian.
Rangkaian faktor itu ialah:
- Korban berbelok kanan-menyeberang dengan tiba-tiba
- Pengemudi mobil dengan sekuat tenaga menginjak rem
- Adanya bunyi keras dari gesekan ban dengan aspal; menyebabkan
- Korban terkejut; menyebabkan
- Kambuhnya penyakit jantung korban
- Tidak segera mendapatkan pertolongan medis.
Macam-Macam Ajaran Kausalitas
Ada beberapa macam ajaran kausalitas, yang dapat dikelompokkan kedalam 3 teori yang besar, yaitu:
- Teori conditio sine que non;
- Tori-teori yang mengindividualisir (individualiserede theorien);
- Teori-teori yang menggeneralisir (genaraliserende theorien).
1. Teori Conditio Sine Que Non
Teori ini berasal dari Von Buri, seorang ahli hukum Jerman yang pernah menjabat sebagai Presiden reichtsgericht (Mahkamah Agung Jerman), yang menulis dua buku mengenai hukum ialah (1) Uber Kausalitat und deren verantwortung, dan (2) Die Kausalitat und ible strafrechtliche Beziebungen.
Tentang ajaran yang pertama kali dicetuskan oleh beliau dalam tahun 1873 ini, menyatakan bahwa penyebab adalah semua faktor yang ada dan tidak dapat dihilangkan untuk menimbulkan suatu akibat.
Teori ini tidak membedakan mana faktor syarat dan mana faktor penyebab, segala sesuatu yang masih berkaitan dalam suatu peristiwa sehingga melahirkan suatu akibat adalah termasuk penyebabnya.
Sehingga keenam faktor yang disebutkan diatas yang menyebabkan kematian pengendara motor diatas tidak ada yang merupakan syarat, semuanya menjadi faktor penyebab. Semua faktor dinilai sama perananannya terhadap timbulnya akibat yang dilarang.
Tanpa salah satu atau dihilangkannya salah satu dari rangkaian faktor tersebut tidak akan terjadi akibat menurut waktu, tempat dan keadaan senyatanya dalam peristiwa itu.
Teori ini memperluas pertanggung jawab dalam hukum pidana disebabkan karena orang yang perbuatannya dari sudut objektif hanya sekadar syarat saja dari timbulnya suatu akibat.
Misalnya pada contoh diatas tadi ialah faktor pengeamudi mobil menginjak rem dengan keras dan kemudian faktor menimbulkan bunyi keras dari gesekan ban dengan aspal adalah sekadar faktor syarat saja, akan tetapi karena dinilai sama dengan faktor penyebab kematiannya secara medis adalah karena kambuhnya penyakit jantung, sehingga si pengemudi dinilai bertanggung jawab atas kematian bapak tadi.
Kelemahan ajaran ini ialah pada tidak membedakan antara faktor syarat dengan faktor penyebab, yang dapat menimbulkan tidakadilan.
Walupun teori ini memiliki kelemahan yang mendasar, tetapi toh dalam praktik di negeri Belanda pernah juga dianut oleh Hoge Raad dalam pertimbangan suatu putusan (8-4-1929) yang menyatakan bahwa “untuk dianggap sebagai sebab daripada suatu akibat, perbuatan itu tidak perlu bersifat umum atau normal”.
Walaupun ada kelemahan pada ajaran ini, tetapi dengan mudah dapat digunakan dan diterapkan pada segala peristiwa, dan para praktisi hukum tidaklah perlu berdebat panjang dan susah payah memikirkan untuk mencari faktor penyebab yang sebenarnya atau faktor yang paling kuat baik secara akal maupun ilmu pengetahuan yang menjadi penyebab atas timbulnya suatu akibat tertentu.
2. Teori-Teori yang Mengindividualisir
Teori yang mengindividualisir, ialah teori yang dalam usahanya mencari faktor penyebab dari timbulnya suatu akibat dengan hanya melihat pada faktor yang ada atau terdapat setelah perbuatan dilakukan.
Dengan kata lain setelah peristiwa itu berserta akibatnya benar-benar terjadi secara konkret (post factum).
Menurut teori ini setelah peristiwa terjadi, maka diantara sekian rangkaian faktor yang terkait dalam peristiwa itu, tidak semuanya merupakan faktor penyebab.
Faktor penyebab itu adalah hanya berupa faktor yang paling berperan atau dominan atau mempunyai andil yang paling kuat terhadap timbulnya suatu akibat. Sedangkan faktor lain adalah dinilai sebagai faktor syarat saja dan bukan faktor penyebab.
Jadi, tidak semua faktor yahg tidak bisa dihilangkan dapat dinilai sebagai faktor penyebab, melainkan hanya terhadap faktor yang menurut kenyataannya setelah peristiwa itu terjadi secara konkret adalah merupakan faktor yang paling dominan atau palaing kuat pengaruhnya terhadap timbulnya akibat.
Menurut pendapat ini pada contoh kasus diatas maka sekiranya faktor serangan penyakit jantung yang paling dominan peranannya terhadap kematian pengendara motor tersebut. Sedangkan faktor lainnya bukanlah sebagai faktor penyebab dari matinya orang tersebut.
Walaupun teori ini lebih baik daripada yang sebelumnya, pada teori yang mengindeividualisir ini terdapat kelemahan berhubung adanya kesulitan dalam dua hal, yaitu:
- Dalam hal kriteria untuk menentukan faktor mana yang mempunyai pengaruh yang paling kuat, dan
- Dalam hal apabila faktor yang dinilai paling kuat itu lebih dari satu dan sama kuat pengaruhnya terhadap akibat yang timbul.
Oleh karena terdapat kelemahan-kelemahan itu, menimbulkan rasa ketidakpuasan bagi sebagian ahli hukum terhadap teori-teori yang mengindividualisir, maka timbullah teori-teori yang menggeneralisir.
3. Teori-teori yang Menggeneralisir
Teori yang menggeneralisir adalah teori yang dalam mencari sebab (causa) dari rangkaian faktor yang berpengaruh atau berhubungan dengan timbulnya akbiat adalah dengan melihat dan menilai pada faktor mana yang secara wajar dan menurut akal serta pengalaman pada umumnya dapat menimbulkan suatu akibat.
Persoalannya ialah bagaimana cara menentukan, bahwa suatu sebab itu pada umunya secara wajar dan menurut akal dapat menimbulkan suatu akibat?
Membahas mengenai persoalan ini, maka timbulah dua pendirian, yakni pendirian yang subjektif yang disebut dengan toeri adequat subjektif, dan pendirian objektif yang kemudian disebut dengan teori adequat objektif.
a. Teori Adequat Subjektif
Teori adequat subjektif dipelopori oleh J. Von Kries, yang menyatakan bahwa faktor penyebab adalah faktor yang menurut kejadian yang normal adalah adequat (sebanding) atau layak dengan akibat yang timbul, yang faktor mana diketahui atau disadari oleh si pembuat sebagai adequat untuk menimbulkan akibat tersebut.
Sebenarnya teori adequat subjektif dari Von kries ini bukan teoeri kausalitas yang murni, karena di dalamnya tersimpul penentuan tentang unsur kesalahan pada diri si pembuat (Sudarto, 1990:71).
b. Teori Adequat Objektif
Teori ini dipelopori RUMELIN yang ajarannya disebut dengan teori obyectif nachtragliche prognose atau peramalan yang objektif, karena dalam mencari causa dari suatu akibat pada faktor objektif yang dipikirkan dapat menimbulkan akibat.
Contoh teori adequat subjektif dengan teori adequat objektif serta penerapannya: seorang juru rawat telah dilarang oleh dokter untuk memberikan obat tertentu pada seorang pasien, diberikan juga olehnya. Sebelum obat itu diberikan pada pasien, ada orang lain yang bermaksud membunuh si pasien dengan memasukkan racun pada obat itu yang tidak diketahui oleh juru rawat. Karena meminum obat yang telah dimasuki racun, maka racun itu menimbulkan akibat matinya pasien.
c. Ajaran kausalitas dalam Hal Perbuatan Pasif
Dilihat dari macam unsur tingkah lakunya, tindak pidana dibedakan antara tindak pidana aktif atau tindak pidana positif (tindak pidana comissi) dan tindak pidana pasif atau tindak pidana negatif (tindak pidana omisi).
Tindak pidana omisi adalah tindak pidana yang terwujudnya oleh sebab perbuatan pasif atau tidak berbuat aktif, tidak berbuat mana melanggar suatu kewajiban hukum (rechtsplicht) untuk berbuat sesuatu.
Bibliografi
- Adami Chazawi. 2007. Pelajaran Hukum Pidana. (Bagian 2). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
- Kartanegara, Satochid, tt. Hukum Pidana. Bagian I. Balai Lektur Mahasiswa.
- Sudarto. 1990. Hukum Pidana I. Semarang: Yayasan Sudarto.
Anda kini sudah mencapai bagian akhir dalam menuntaskan pembahasan Bab VII (ketujuh) yang merupakan materi dari mata kuliah Hukum Pidana. Silahkan klik tombol di bawah ini untuk memilih bab selanjutnya. 👇👇👇
Post a Comment
Post a Comment