Situs Hukum - Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan kamu mampu memahami tentang delik aduan absolut dan delik aduan relatif.
A. PENGERTIAN DELIK ADUAN (KLACHT DELICT)
Istilah delik aduan (klacht delict), ditinjau dari arti kata klacht atau pengaduan berarti tindak pidana yang hanya dapat dilakukan penuntutan setelah adanya laporan dengan permintaan untuk dilakukan penuntutan terhadap orang atau terhadap orang tertentu.
Pada umumnya setelah seseorang melakukan kejahatan, maka demi kepentingan umum, ia akan dituntut oleh Pemerintah melalui aparat-aparatnya yaitu Jaksa (Penuntut Umum).
Akan tetapi dalam hal kejahatan-kejahatan tertentu, Jaksa tidak akan mengadakan penuntutan, karena kepentingan orang yang menderita oleh kejahatan tersebut adalah jauh lebih besar jika dibandingkan dengan kepentingan umum.
Pada delik aduan, jaksa hanya akan melakukan penuntutan, bila telah ada pengaduan dari orang yang menderita, dirugikan oleh kejahatan tersebut.
Umpamanya dalam suatu rumah tangga terjadi pencurian, kemudian setelah diselidiki ternyata yang melakukan pencurian tersebut adalah isterinya sendiri.
Dalam peristiwa ini, Jaksa tidak akan melakukan penuntutan sebelum pihak yang dirugikan itu (suami) mengajukan pengaduan lebih dahulu.
Pengaturan delik aduan tidak terdapat dalam Buku ke I KUHP, tetapi dijumpai secara tersebar di dalam Buku ke-II.
Tiap-tiap delik yang oleh pembuat undang-undang dijadikan delik aduan, menyatakan hal itu secara tersendiri, dan dalam ketentuan yang dimaksud sekaligus juga ditunjuk siapa-siapa yang berhak mengajukan pengaduan tersebut.
Pembentuk undang-undang telah mensyaratkan tentang adanya suatu pengaduan bagi delik tertentu. Adapun sebabnya menurut von Liszt, Berner dan von Swinderen adalah bahwa dipandang secara obyektif pada beberapa delik tertentu itu kerugian material atau ideal dari orang yang secara langsung telah dirugikan harus lebih diutamakan daripada kerugian-kerugian lain pada umumnya
Menurut MvT, disyaratkannya suatu pengaduan pada beberapa delik tertentu itu adalah berdasarkan pertimbangan bahwa ikut campurnya penguasa di dalam suatu kasus tertentu itu mungkin akan mendatangkan kerugian yang lebih besar bagi kepentingan-kepentingan tertentu dari orang yang telah dirugikan daripada kenyataan, yakni jika penguasa telah tidak ikut campur di dalam kasus tersebut.
Sehingga keputusan apakah seseorang yang telah merugikan itu perlu dituntut atau tidak oleh penguasa, hal tersebut diserahkan kepada pertimbangan orang yang telah merasa dirugikan.
Dalam KUHP Indonesia hanya dikenal lembaga delik aduan ini khusus dalam bidang kejahatan saja. Sungguhpun dalam suatu kejahatan itu telah ditentukan adanya delik aduan, baik absolut maupun relatif, namun dalam hukum acaranya tetap berlaku azas opportunitas.
Jadi walaupun yang mengajukan perkara tersebut telah membuat pengaduan, Jaksa Penuntut Umum masih tetap berhak mendeponeer perkara yang bersangkutan bila dianggap perkara itu patut untuk tidak diajukan ke pengadilan.
Kemudian timbul pula persoalan baru, yaitu apakah dapat dilakukan penyidikan (opsporing) sebelum kejahatan aduan itu diajukan oleh yang berhak.
Penyidikan dapat dilakukan, karena undang-undang hanya melarang penuntutan (vervolging) dan tidak pernah melarang penyidikan. Pengusutan itu penting dilakukan segera setelah kejahatan tersebut diketahui untuk mencegah dihilangkannya barang bukti.
B. PEMBAGIAN DELIK ADUAN
Delik aduan pada umumnya dibagi dalam dua jenis yaitu:
1. Delik Aduan Absolut (Mutlak)
Tresna menamainya dengan absolute klacht delict.
Yang dimaksud dengan delik aduan absolut adalah tiap-tiap kejahatan yang dilakukan, yang hanya akan dapat diadakan penuntutan oleh penuntut umum bila telah diterima aduan dari yang berhak mengadukannya.
Sejalan dengan itu Pompe mengemukakan absolute klacht delict atau delik aduan absolut adalah delik yang pada dasarnya, adanya suatu pengaduan itu merupakan voorwaarde van vervolgbaarheid atau merupakan syarat agar pelakunya dapat dituntut.
Kejahatan-kejahatan yang termasuk dalam jenis delik aduan absolut ini ialah misalnya:
a. Kejahatan penghinaan (Pasal-pasal 310 s/d 319 KUHP), kecuali penghinaan yang dilakukan oleh seseorang terhadap seseorang pejabat pemerintah, yang waktu diadakan penghinaan tersebut dalam berdinas resmi. Maka terhadap si penghina ini dapat dituntut oleh Jaksa tanpa menunggu aduan dari si pejabat tersebut. Dasar penuntutan ini ialah adanya kepentingan umum yang lebih besar dari kepentingan orang yang bersangkutan.
b. Kejahatan-kejahatan susila (Pasal 284 tentang zina; Pasal 287 tentang bersetubuh dengan perempuan yang bukan isterinya yang umurnya belum sampai 15 tahun; Pasal 293 tentang membujuk seseorang yang masih belum dewasa dan belum pernah berkelakuan tidak pantas, menjalankan perbuatan cabul: Pasal 332 tentang melarikan seorang perempuan).
c. Kejahatan membuka rahasia (Pasal 322 KUHP).
2. Delik Aduan Relatif (Relatieve Klacht Delict)
Delik aduan relatif adalah kejahatan-kejahatan yang dilakukan, yang sebenarnya bukan merupakan kejahatan aduan, tetapi khusus terhadap hal-hal tertentu, justru diperlakukan sebagai delik aduan.
Menurut Pompe, relatieve klacht delict atau delik aduan relatif adalah delik dimana adanya suatu pengaduan itu hanyalah merupakan suatu voorwaarde voor vervolgbaarheid atau suatu syarat untuk dapat menuntut pelakunya, yaitu bilamana antara orang yang bersalah dengan orang yang dirugikan itu terdapat suatu hubungan yang bersifat khusus
Dalam melakukan penuntutan terhadap delik aduan relatif ini, dapat dipisah-pisahkan penuntutannya. Misal si A dan si B sama-sama melakukan pencurian harta benda ayahnya, tetapi kemudian oleh si ayah hanya si B yang diminta untuk dituntut, sedang si A tidak dituntut.
Jadi umumnya delik aduan relatif ini hanya dapat terjadi dalam kejahatan-kejahatan:
- Pencurian dalam keluarga , dan kejahatan terhadap harta kekayaan yang lain yang sejenis (Pasal 367 KUHP);
- Pemerasan dan ancaman (Pasal 370 KUHP);
- Penggelapan (Pasal 376 KUHP);
- Penipuan (Pasal 394 KUHP).
Jadi dalam delik aduan relatif ini penuntutan dapat dipisah-pisahkan, artinya bila ada beberapa orang yang melakukan kejahatan, tetapi penuntutan dapat dilakukan terhadap orang yang diingini oleh yang berhak mengajukan aduan.
Sebaliknya dalam delik aduan absolut, maka bila yang satu dituntut, dengan sendirinya semua pelaku dari kejahatan itu harus dituntut juga.
Pada delik aduan absolut itu adalah cukup apabila pengadu hanya menyebutkan peristiwanya saja, sedang pada delik-delik aduan relatif, pengadu juga harus menyebutkan orangnya yang ia duga telah merugikan dirinya
Pengaduan pada delik-delik aduan absolut tidak dapat dipecahkan (onsplitbaar), dan tidaklah demikian halnya dengan suatu pengaduan pada delik-delik aduan relatif yang dapat dipecahkan (splitbaar).
Disamping pengaduan, dikenal pula istilah “pelaporan”. Dari segi hukum, antara istilah pengaduan dan pelaporan terdapat perbedaan-perbedaan sebagai berikut:
Pelaporan | Pengaduan |
---|---|
Dapat dilakukan terhadap semua kejadian dan semua perbuatan, baik yang bersifat pidana maupun tidak, yang biasanya dilakukan bila ada permintaan dari orang yang berkepentingan. | Hanya dapat dilakukan terhadap perbuatan pidana, dan harus dinyatakan secara tegas agar perkara tersebut diperiksa. |
Dapat dilakukan oleh semua orang terhadap kejadian yang diketahuinya. | Hanya dapat diadukan oleh orang-orang tertentu yang merasa dirugikan atau yang berhak. |
Dapat dijadikan dasar penuntutan, tetapi bukanlah merupakan suatau keharusan. | Menjadi syarat untuk diadakannya penuntutan. |
Dapat dilakukan terhadap semua tindak pidana. | Hanya terbatas pada delik aduan saja. |
C. PIHAK YANG BERHAK MENGAJUKAN PENGADUAN DAN TENGGANG WAKTU MENGAJUKAN PENGADUAN
Pihak-pihak yang berhak mengajukan aduan dan jangka waktunya, dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 72 KUHP:
(1) Jika kejahatan yang hanya boleh dituntut atas pengaduan, dilakukan kepada orang yang umurnya belum cukup enam belas tahun dan lagi belum dewasa, atau kepada orang yang dibawah penilikan (curatele) lain orang bukan dari sebab keborosan, maka selama dalam keadaan-keadaan itu, yang berhak mengadu ialah wakilnya yang sah dalam perkara sipil
(2) Jika tidak ada wakil, atau dia sendiri yang harus diadukan, maka penuntutan boleh dilakukan atas pengaduan wali yang mengawas-awas atau curator (penilik) atau majelis yang menjalankan kewajiban wali pengawas-awas atau yang menjalankan kewajiban curator itu, atas pengaduan isteri, seorang kaum keluarga dalam turunan yang lurus, atau kalau ini tak ada atas pengaduan kaum keluarga dalam turunan yang menyimpang sampai derajat yang ketiga.
Dari ketentuan tersebut jelaslah bahwa yang berhak mengajukan aduan tersebut adalah:
- Wakilnya yang sah dalam perkara sipil, atau wali, atau pengaduan orang tertentu (khusus untuk orang yang belum dewasa). Misalnya orang tua korban, pengacara, pengampu (curator) dan wali.
- Orang yang langsung dikenai kejahatan itu (korban).
Adapun tenggang waktu untuk mengajukan aduan tersebut diatur dalam Pasal 74 ayat (1) KUHP:
Pengaduan hanya boleh dimasukkan dalam tempo enam bulan sesudah orang yang berhak mengadu mengadu mengetahui perbuatan yang dilakukan itu, kalau ia berdiam di Negara Indonesia ini, atau dalam tempo sembilan bulan sesudah ia mengetahui itu, kalau berdiam di luar Negara Indonesia.
Jadi kalau seseorang mempunyai hak untuk mengajukan aduan, ia hanya boleh memasukkan aduan tersebut paling lama dalam jangka waktu enam bulan setelah kejadian itu diketahuinya, tetapi kalau kebetulan ia berdiam di luar negeri, maka tenggang waktu itu paling lama sembilan bulan.
Dalam penjelasan KUHP disebutkan, kalau pengaduan tersebut diajukan secara tertulis, maka tenggang waktu untuk mencabutnya adalah tiga bulan kemudian, terhitung semenjak hari dimasukkan.
Dan untuk yang diajukan secara lisan, terhitung semenjak hari pemberitahuan dengan lisan, atau untuk yang dikirim, terhitung semenjak tanggal pengiriman.
Apabila yang berhak mengajukan aduan tersebut meninggal sebelum ia sempat memasukkan pengaduan, maka yang berhak mengajukan aduan tersebut adalah ibu, bapak, atau suami yang masih hidup, kecuali nyata-nyata bahwa yang meninggal itu tidak menginginkan diadakannya penuntutan (Pasal 73 KUHP).
Menurut MvT, penentuan dari suatu jangka waktu adalah untuk menentukan suatu vervaltermijn atau untuk menentukan suatu jangka waktu tertentu yang apabila di dalam jangka waktu yang telah ditentukan itu orang yang berwenang untuk mengajukan suatu pengajuan telah tidak mengajukan suatu pengaduan, maka haknya untuk mengajukan pengaduan menjadi batal.
Jangka waktu tersebut di atas memberikan kewenangan kepada seseorang untuk mengajukan pengaduan untuk tidak melewati batas waktu yang sudah ditentukan oleh undang-undang sehingga perkaranya dapat segera diproses.
Khusus terhadap kejahatan zina, pengaduan dapat dicabut setiap saat, sebelum sidang pengadilan dimulai, dan setiap aduan yang telah dicabut, tidak dapat diajukan lagi untuk hal yang serupa.
D. PENGATURAN DELIK ADUAN DALAM RKUHP
Pengaturan Delik Aduan (Tindak Pidana Aduan) dalam RKUHP terdiri dari 6 pasal, dimulai dari Pasal 25 sampai dengan Pasal 30.
Pasal 25
(1) Dalam hal-hal tertentu, tindak pidana hanya dapat dituntut atas dasar pengaduan.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan secara tegas dalam Undang-Undang.(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mensyaratkan adanya pengaduan secara mutlak, penuntutan dilakukan kepada semua peserta, walaupun tidak disebutkan oleh pengadu.
Penjelasan:
_Ayat (1)
Beberapa tindak pidana hanya dapat dituntut berdasarkan pengaduan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam beberapa kejadian, mengingat kepentingan pribadi dari orang yang dikenai tindak pidana akan lebih besar dirugikan apabila perkara itu dituntut dibandingkan dengan kerugian kepentingan umum bila tidak dilakukan penuntutan.
_Ayat (3)
Pada tindak pidana aduan mutlak, pengaduan tidak dapat dipisah-pisahkan, dalam arti walaupun disebutkan nama orang tertentu dalam pengaduan, penuntutan dilakukan atas semua peserta yang oleh pengadu tidak disebutkan. Dalam penuntutan tindak pidana aduan mutlak yang dipentingkan adalah menyebut tindak pidananya. Dalam pengaduan relatif pengaduan dapat dipecah, dalam arti penuntutan hanya dapat dilakukan terhadap orang yang disebut dalam pengaduan dan tidak dapat dilakukan terhadap orang lain.
Pasal 26
(1) Dalam hal orang yang terkena tindak pidana aduan belum berumur 16 (enam belas) tahun dan belum kawin atau berada di bawah pengampuan, maka yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah menurut hukum perdata.
(2) Dalam hal wakil yang sah tidak ada, maka penuntutan dilakukan atas pengaduan wali pengawas atau majelis yang menjadi wali pengawas atau pengampu pengawas, atau atas dasar pengaduan istrinya atau keluarga sedarah dalam garis lurus.
(3) Dalam hal wakil sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak ada, maka peng-aduan dilakukan oleh keluarga sedarah dalam garis menyamping sampai derajat ketiga.
Pasal 27
(1) Dalam hal yang terkena tindak pidana aduan meninggal dunia dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 maka pengaduan dapat dilakukan oleh orang tuanya, anaknya, suaminya, atau isterinya yang masih hidup.
(2) Hak pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) gugur, jika yang meninggal sebelumnya tidak menghendaki penuntutan.
Pasal 28
(1) Pengaduan dilakukan dengan cara menyampaikan pemberitahuan dan permohonan untuk dituntut.
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis kepada pejabat yang berwenang.
Pasal 29
(1) Pengaduan hams diajukan dalam tenggang waktu :
a. 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal orang yang berhak mengadu mengetahui adanya tindak pidana, jika yang berhak mengadu bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia; atau
b. 9 (sembilan) bulan terhitung sejak tanggal orang yang berhak mengadu mengetahui adanya tindak pidana, jika yang berhak mengadu bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia.
(2) Jika yang berhak mengadu lebih dari seorang, maka tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak masing-masing mengetahui adanya tindak pidana.
Pasal 30
(1) Pengaduan dapat ditarik kembali dalam waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal pengaduan diajukan.
(2) Pengaduan yang ditarik kembali tidak dapat diajukan lagi.
Bibliografi
- Lamintang, P.A.F. 1990. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru.
- R. Soesilo. 1993. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.
- Schaffmeister. Dkk (Eds). 2007. Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.
- Tresna, R. 1959. Azas-Azas Hukum Pidana. Jakarta: Tirta Ltd.
Anda kini sudah mencapai bagian akhir dalam menuntaskan pembahasan Bab VIII (kedelapan) yang merupakan materi dari mata kuliah Hukum Pidana. Silahkan klik tombol di bawah ini untuk memilih bab selanjutnya. 👇👇👇
Post a Comment
Post a Comment