Situs Hukum - Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan kamu nantinya akan mampu memahami tentang percobaan (poging) sebagai suatu perbuatan yang dapat dipidana.
A. Pengertian Dan Syarat-Syarat Percobaan (Poging)
Pengaturan mengenai percobaan dirumuskan dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP yaitu:
Percobaan untuk melakukan kejahatan terancam hukuman, bila maksud si pembuat sudah nyata dengan dimulainya perbuatan itu dan perbuatan itu tidak jadi sampai selesai hanyalah lantaran hal yang tidak bergantung dari kemauannya sendiri.
Dari rumusan di atas terlihat bahwa penyusun KUHP telah membuat percobaan untuk melakukan kejahatan sebagai suatu perbuatan yang terlarang dan mengancam pelakunya dengan suatu hukuman.
Adapun pengertian dari percobaan tidak dapat ditemukan dalam KUHP, karena pembentuk undang-undang tidak memberikan penjelasan tentang percobaan. Sebagai petunjuk ke arah itu dapat dilihat pada MvT tentang pembentukan Pasal 53 ayat (1) yaitu:
Dengan demikian, percobaan untuk melakukan kejahatan itu adalah pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan yang telah dimulai, tetapi ternyata tidak selesai ataupun suatu kehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu yang telah diwujudkan di dalam suatu permulaan pelaksanaan.
Namun penjelasan MvT seperti di atas belum banyak membantu pemahaman kita tentang percobaan, bahkan sebaliknya penjelasan tersebut menimbulkan pertanyaan baru terkait dengan istilah “permulaan pelaksanaan”. Apakah permulaan pelaksanaan maksud si pelaku ataukah permulaan pelaksanaan kejahatan.
Ada tiga syarat (kumulatif) yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan pelaku dapat disebut sebagai percobaan melakukan kejahatan yaitu:
- Adanya suatu maksud (voornemen), dalam arti bahwa pelaku haruslah mempunyai suatu maksud untuk melakukan kejahatan tertentu.
- Adanya suatu permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering), dalam arti bahwa maksud pelaku tersebut telah diwujudkan dalam suatu permulaan melakukan kejahatan yang dikehendakinya, dan
- Pelaksanaan kejahatan yang dikehendaki itu tidak selesai disebabkan oleh hal-hal di luar kehendaknya, atau dengan kata lain tidak selesainya pelaksanaan kejahatan yang telah dimulai itu haruslah disebabkan oleh hal-hal yang berada di luar kemauannya sendiri.
Selanjutnya dalam Pasal 53 ayat (2) dan ayat (3) KUHP menentukan, bahwa hukuman bagi percobaan melakukan kejahatan maksimum ancaman hukuman bagi kejahatan tersebut dikurangkan dengan sepertiganya. Jika kejahatan itu diancam dengan hukuman mati atau seumur hidup untuk percobaan dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun.
B. Tujuan atau Maksud Pemidanaan Percobaan Kejahatan
Pembebanan tanggungjawab dengan mengancam pidana pada si pembuat yang belum sepenuhnya mewujudkan tindak pidana dirasakan perlu oleh pembentuk undang-undang.
Pembebanan tanggung jawab dapat dilihat dari dua sudut yaitu:
- Pada orang yang mempunyai niat (voornemen) jahat untuk melakukan kejahatan yang telah memulai melaksanakannya (sudut subjektif); dan
- Pada wujud perbuatan nyata dari orang itu yang berupa permulaan pelaksanaan (sudut objektif) dari suatu kejahatan, dipandang telah membahayakan suatu kepentingan hukum yang dilindungi undang-undang.
Agar niat jahat orang itu tidak berkembang lebih jauh dengan diwujudkan sedemikian rupa ke dalam pelaksanaan sehingga pelaksanaan menjadi selesai sempurna, maka untuk pencegahannya kepada orang seperti itu telah patut diancam pidana.
Untuk itu perlulah orang yang telah memenuhi syarat-syarat percobaan kejahatan sebagaimana ditentukan undang-undang dibebani tanggung jawab dengan memberikan ancaman pidana terhadap si pembuatnya, walaupun ancaman pidana lebih ringan daripada jika kejahatan itu telah diselesaikannya secara sempurna. Andaikata tidak dirumuskan tersendiri (yang bersifat umum) seperti pada Pasal 53, sudah barang tentu sipembuat yang tidak menyelesaikan tindak pidana (kejahatan) tidaklah dipidana.
Dari apa yang diterangkan di atas, maka tidak dapat lain bahwa percobaan kejahatan ini bukan suatu tindak pidana (yang berdiri sendiri) seperti pada istilah delik percobaan, akan tetapi ketentuan khusus dalam hal memperluas pembebanan pertanggungjawaban pidana, bukan saja terhadap si pembuat yang menyelesaikan tindak pidana dengan sempurna, tetapi dipertanggungjawabkan pula dengan dipidananya bagi si pembuat yang karena perbuatannya belum menyelesaikan suatu tindak pidana secara sempurna.
Demikian juga, percobaan bukan unsur tindak pidana, tetapi tindak pidana yang tidak sempurna, yang pada dasarnya tidak dipidana. Tindak pidana yang tidak sempurna tidaklah disebut sebagai tindak pidana, walaupun diancam pidana sebagaimana juga tindak pidana sempurna. Dengan demikian, percobaan juga bukan perluasaan arti dari tindak pidana.
Dari pemuatan syarat-syarat dipidananya percobaan kejahatan dalam Pasal 53 ayat (1) tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa:
- Ada percobaan kejahatan yang dapat dipidana, jika memenuhi syarat-syarat tersebut Pasal 53 (1), dan secara a contrario ada pula percobaan kejahatan yang tidak dapat dipindana, yakni jika salah satu syarat itu tidak dipenuhi, misalnya pada syarat ke tiga: percobaan kejahatan yang pelaksanaanya tidak selesai disebabkan karena kehendaknnya sendiri atau yang biasa disebut dengan pengunduran diri sukarela (vrijwillige terugtred).
- Disamping itu juga ada percobaan kejahatan yang secara tegas oleh undang-undang ditetapkan percobaanya tidak dipidana, contoh pada percobaan penganiayaan biasa (Pasal 351 ayat 5), percobaan penganiayaan hewan (Pasal 302 ayat 4) percobaan perang tanding (Pasal 184 ayat 5).
- Percobaan melakukan pelanggaran tidak dipidana (bahkan ditegaskan dalam Pasal 54).
- Percobaan kejahatan yang dapat dipidana hanya pada tindak pidana dolus, dan tidak mungkin pada tindak pidana culpa. Karena istilah niat di sini adalah artinya kesengajaan yang mengenai tindak pidananya disadari dan atau dikehendaki. Sedangkan culpa adalah sikap batin yang ceroboh tidak berhati-hati atau tidak memiliki dan menggunakan pemikiran yang cukup baik mengenai perbuatannya maupun akibatnya sehingga melahirkan suatu tindak pidana culpa.
- Percobaan tidak dapat terjadi pada tindak pidana pasif (tindak pidana omisionis), sebab tindak pidana omisionis unsure perbuatannya ialah berupa tidak berbuat, yang dengan tidak berbuat itu melanggar suatu kewajiban hukumnya. Sedangkan pada percobaan kejahatan harus ada permulaan pelaksanaan yang in casu harus berbuat.
- Juga ada beberapa kejahatan yang karena sifat kejahatan dalam rumusannya tidak mungkin dapat terjadi percobaanya.
C. Pengertian Niat (Voornemen)
Oleh banyak kalangan pakar hukum, niat di sini diartikan sama dengan kesengajaan (opzettelijk). Tetapi sebaliknya dalam hal kesengajaan yang mana, di sini telah menimbulkan perbedaan pandangan, walaupun pada umumnya para pakar hukum berpendapat luas, ialah terhadap semua bentuk kesengajaan.
Demikian juga dalam praktik hukum mengikuti pandangan sebagian besar para pakar hukum dengan menganut pendapat yang luas. Pendapat yang sempit telah dianut oleh VOS yang memberikan arti niat di sini sebagai kesengajaan sebagai tujuan saja.
Di Indonesia, Moeljatno yang berpendapat bahwa niat tidak sama dengan kesengajaan.
Adanya persoalan tentang niat yaitu apakah niat untuk melakukan kejahatan mempunyai kedudukan yang sama pada percobaan sebagaimana kedudukan kesengajaan pada delik dolus yang selesai menurut yurisprudensi (HR 6 Pebruari 1951) niat sering disamakan dengan kesengajaan.
D. Pengertian Adanya Permulaan Pelaksanaan (Begin Van Uitvoering)
Sebagaimana diketahui dalam hal percobaan kejahatan, terdapat dua ajaran yang saling berhadapan, yaitu ajaran subjektif dan ajaran objektif yang berbeda pokok pangkal dalam memandang hal permulaan pelaksanaan. Perbedaan ini disebabkan karena ukuran yang digunakan adalah berbeda. Ajaran subjektif bertitik tolak dari ukuran batin si pembuat, sedangkan ajaran objektif bertitik tolak dari sudut wujud perbuatannya.
Patutnya dipidana terhadap percobaan kejahatan menurut pandangan subjektif, adalah terletak pada niat jahat orang itu yang dinilai telah mengancam kepentingan hukum yang dilindungi. Sebaliknya menurut ajaran objektif, patutnya dipidana percobaan kejahatan karena wujud permulaan pelaksanaan itu telah dinilai mengancam kepentingan hukum yang dilindungi undang-undang, jadi telah mengandung sifat berbahaya bagi kepentingan hukum.
Berdasarkan pijakan masing-masing dari kedua ajaran itu, maka menghasilkan kesimpulan yang berbeda.
Ajaran subjektif lebih menafsirkan istilah permulaan pelaksanaan dalam Pasal 53 KUHP sebagai permulaan pelaksanaan dari niat sehingga bertolak dari sikap batin yang berbahaya dari pembuat dan menamakan perbuatan pelaksanaan sebagai setiap perbuatan yang menunjukkan bahwa pembuat secara psikis sanggup melakukannya.
Van Dijk, tentang hal ini menyatakan: “Ada perbuatan pelaksanaan kalau pembuatnya dihadapkan dengan waktu dan tempat akan dilakukannya kejahatan, membuktikan dirinya sanggup melakukan perbuatan yang diperlukan untuk menyelesaikannya”.
Simons, tentang permulaan pelaksanaan ini menjelaskan bahwa:
“Pada kejahatan dengan rumusan formal ada percobaan yang dapat dipidana kalau perbuatan yang dilarang dalam undang-undang mulai dilakukan. Pada kejahatan dengan rumusan materiil, kalau perbuatan mulai dilakukan yang menurut sifatnya segera dapat menimbulkan akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang yang tanpa dilakukannya perbuatan lebih lanjut, dapat menimbulkan akibat itu.”
Menurut ajaran subjektif ada permulaan pelaksanaan ialah apabila dari wujud perbuatan yang dilakukan telah tampak secara jelas niat atau kehendaknya untuk melakukan suatu tindak pidana. Contohnya orang yang tidak biasa berhubungan dengan senjata tajam, suatu hari sekonyong-konyong dia mengasah pedang, dari wujud mengasah pedang ini telah tampak adanya niat untuk melaksanakan kejahatan dengan pedang yang diasahnya itu, misalnya pembunuhan orang. Tetapi sebaliknya menurut ajaran objektif adanya permulaan pelaksanaan apabila dari wujud perbuatan itu telah tampak secara jelas arah satu-satunya dari wujud perbuatan ialah pada tindak pidana tertentu.
Misalnya seseorang berhadapan orang yang dibencinya telah mengokang pistolnya dengan mengarahkan moncong senjata itu kearah orang yang dibencinya. Perbuatan mengokang pistol dianggap merupakan permulaan pelaksanaan dari kejahatan. Sedangkan menarik pelatuk pistol adalah perbuatan pelaksanaan pembunuhan.
Untuk melihat dimana letak batas antara perbuatan persiapan dengan perbuatan permulaan pelaksanaan menurut pandangan subjektif, diberikan contoh: A. berkehendak untuk membunuh. B. musuhnya. Untuk hal ini, A melakukan rangkaian tingkah laku sebagai berikut:
- suatu hari ia pergi naik taksi menuju pasar;
- masuk ke sebuah toko;
- di toko itu dia membeli sebuah pedang;
- dia kembali ke rumah;
- dilihatnya pedang itu tumpul dia kemudian mengasah pedang itu sampai tajam;
- kemudian disimpannya di almari;
- pada malam harinya dengan membawa pedang dia berjalan menuju rumah calon korban, yakni B;
- di muka pintu dia mengetuk pintu dan dibukakan oleh istri B, dan A dipersilahkan masuk – dia masuk dan duduk disalah satu kursi;
- ketika B masuk ruang tamu dan duduk di kursi, cepat A mencabut pedang dari balik bajunya;
- A mengayunkan pedang yang terhunus kea rah leher B dan mengenai bahu, (istri B berteriak – banyak orang berdatangan hendak menolong. A melarikan diri). Dari lukanya tidak menyebabkan kematian.
Dalam pembentukan KUHP, Menteri Modderman dengan tegas menyerahkan pilihan antara ajaran objektif dan subjektif kepada ilmu pengetahuan dan peradilan karena menurut beliau, keduanya lebih sanggup mencari jalan yang tepat daripada pembuat undang-undang.
Memang yurisprudensi sedikit demi sedikit sempat membangun jalur kebijakan untuk menghadapi kebhinekaan situasi dalam praktik yang tidak dapat diatur secara tuntas oleh ketentuan hukum yang abstrak. Jadi penting pula mengetahui pertumbuhan jalur kebijakan dari Hoge Raad.
Pada tahun 1934 Hoge Raad mengeluarkan putusan pembakaran di kota Eindhoven.
A dan B bersepakat untuk membakar rumah dengan persetujuan pemiliknya yang sedang bepergian, dengan maksud untuk membagi pembayaran asuransi yang akan diperoleh di antara mereka bertiga. Mereka membuat sumbu panjang dari pakaian bekas, mencelupkannya ke dalam bensin dan menaruhnya di seluruh rumah. Ujung sumbu diikat dengan “pistol gas” dalam dapur.
Picu dari pistol diikat dengan tali yang melalui jendela dapur ditarik melewati tembok luar sehingga semua peralatan itu dapat dipergunakan dari luar rumah. Setelah menjadikan rumah “siap bakar”, mereka pergi dengan maksud kembali pada waktu malam untuk menarik tali tadi.
Bau bensin mengganggu hidung orang lewat dan terjadilah kerumunan orang di sekitar rumah itu. Mudah dipahami bahwa waktu para calon penarik tadi kembali dan melihat kerumunan itu, merka takut dan mengambil langkah seribu.
Persoalannya apakah disini hanya ada perbuatan persiapan ataukah juga ada perbuatan pelaksanaan yang bukan karena kehendak pelaku-pelakunya (takut karena kerumunan orang yang mencium bau bensin) tadi mengakibatkan delik pembakaran menjadi tidak selesai.
Hoge Raad memutuskan pelaku tidak dapat dipidana karena belum ada permulaan pelaksanaan sebagaimana tersebut dalam Pasal 53 KUHP. Dalam perkembangan dari yurisprudensinya, HR dalam putusannya mengarah pada ajaran objektif yang diperlunak. Hal ini terlihat pada putusan Cito (Oktober 1978) sebagai berikut:
Dua orang bersenjata dan bertopeng dengan membawa tas menuju ke Biro Penyiaran Cito dengan maksud melakukan perampokan. Mereka membunyikan bel, tetapi pintu tidak dibuka. Pada saat itu merekaditangkap polisi. HR menimbang bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan pelaksanaan karena “menurut bentuk perwujudannyadari luar harus dipandangsebagai diarahkan untuk menyelesaikan kejahatan”. Jadi dalam hal ini terjadilah percobaan yang dapat dipidana yaitu kejahatan pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 KUHP).
Perbuatan dua orang tersebut hanya dapat merupakan permulaan perampokan bersenjata, sedangkan karena perilakunya bersama-sama satu unsur perumusan delik telah terpenuhi.
Menurut van Veen yang memberikan catatan dibawah putusan Cito tersebut, pada delik yang dikualifikasi lebih banyak terdapat perbuatan pelaksanaan daripada delik pokoknya. Delik yang dikualifikasi didahului oleh bayangannya.
Dengan perkataan lain, bersenjata, bertopeng, dan membunyikan bel adalah mulai melaksanakan pencurian dengan kekerasan, tetapi tidak bersenjata, tidak bertopeng, dan mengebel bukan permulaan pelaksanaan dari pencurian biasa.
E. Arti Pelaksanaan Tidak Selesai Bukan Sebab Dari Kehendaknya Sendiri
Pada syarat ketiga ini, ada 3 unsur atau hal yang penting untuk dibicarakan, ialah:
- Tentang apa yang dimaksud dengan pelaksanaan?
- Tentang apa yang dimaksud dengan pelaksanaan yang tidak selesai, atau pelaksanaan dengan syarat apa yang disebut dengan pelaksanaan yang tidak selesai?
- Tentang apa yang dimaksud dengan bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri?
Mengenai pelaksanaan (uitvoering) ini atau lengkapnya perbuatan pelaksanaan (uitvoeringshandelingen) adalah perbuatan yang didahului oleh permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering), dan yang telah berhubungan langsung dengan kejahatan yang diperbuat, artinya ialah inilah satu-satunya perbuatan yang langsung dapat melahirkan kejahatan secara sempurna, tanpa harus ada perbuatan lain lagi. Ukuran ini memang harus objektif, karena perbuatan pelaksanaan itu sendiri adalah sesuatu yang objektif.
Dalam hal ini tindak pidana formil, perbuatan pelaksanaan adalah tingkah laku yang telah berhubungan langsung dengan unsure perbuatan terlarang dalam rumusan kejahatan tertentu, atau dengan kata lain merupakan pelaksanaan dari unsure perbuatan terlarang yang dirumuskan dalam undang-undang. Misalnya pada pencurian (362) perbuatan pelaksanaan adalah merupakan pelaksanaan dari perbuatan mengambil (wegnemen).
Sedangkan dalam hal tindak pidana materiil, perbuatan pelaksanaan adalah tingkah laku yang telah berhubungan langsung dengan perbuatan yang dapat menimbulkan akibat terlarang yang dirumuskan dalam undang-undang, atau dengan kata lain merupakan pelaksanaan dari perbuatan yang dapat menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang. Misalnya pada pembunuhan (338), perbuatan yang dapat menimbulkan kematian: menembak, memukul, membacok, meracun, menusuk, dan lain-lain yang tidak terbatas wujudnya.
Mengenai hal yang kedua, tentang pelaksanaan yang tidak selesai. Hal ini pun memiliki ukuran atau indicator yang tidak sama dengan tindak pidana formil dan tindak pidana materiil. Pada tindak pidana formil, pelaksaan yang tidak selesai artinya ialah perbuatan itu telah dimulai laksanakan yang pada saat atau sedang berlangsungnya kemudian terhenti, dalam arti apa yang menjadi syarat selesainya perbuatan itu tidak terpenuhi.
Apa yang menjadi syarat selesainya perbuatan tidak terpenuhi, adalah berlainan untuk setiap kejahatan, bergantung dari unsur perbuatan apa yang ditetapkan dalam rumusan kejahatan.
Agak lain dengan syarat pelaksanaan yang tidak selesai pada tindak pidana materiil, yang dalam hal ini ada 2 kemungkinan, yaitu:
- Karena tindak pidana yang dirumuskan secara materiil ini, pada intinya melarang menimbulkan akibat tertentu, dalam arti intinya larangan adalah pada menimbulkan akibat tertentu, dan bukan melarang melakukan perbuatan tertentu, maka pelaksaan tidak selesai artinya bila dari wujud perbuatan itu tidak menghasilkan akibat yang terlarang. Bisa jadi wujud perbuatannya tidak terhenti, melainkan telah penuh sempurna dilaksanakan seperti kejahatan selesai, misalnya menghilangkan nyawa (338) telah menarik pelatuk dan senapan meledak – peluru mengenai tubuh, tetapi tidak pada bagian yang mematikan, perbuatan itu tidak menimbulkan akibat matinya korban.
- Pada tindak pidana materiil bisa juga pelaksanaanya terhenti seperti pada tindak pidana formil, dan tentu akibat terlarang tidak timbul karena akibat ini merupakan syarat esensial. Misalnya perbuatan menembak, dia telah menarik pelatuk senapan, tetai tidak meledak. Perbuatan menembak sempurna ialah bila memenuhi syarat: menarik pelatuk senapan dan senapan meledak. Contoh yang lain, perkosaan (285), laki-laki itu memaksa untuk bersetubuh dengan mengeluarkan pisau, tetapi si wanita melawan-pisau terlepas dan beralih ketangan calon korban, dan persetubuhan/menyetubuhi tidak terjadi.
Mengenai tidak selesai pelaksanaan semata-mata bukan sebab dari kehendaknya sendiri, titik berat pada syarat ketiga untuk dapat dipidananya percobaan kejahatan ialah tidak selesainya pelaksanaan semata-mata disebabkan oleh hal diluar kehendaknya. Arti kebalikannya ialah, apabila tidak selesainya pelaksanaan itu disebabkan oleh kehendaknya sendiri (vrijwillige terugtred) maka orang itu tidak dipidana.
Pengunduran diri sukarela syaratnya ialah pada keadaan tertentu dari suatu perbuatan (misalnya telah mengarah moncong pistol ke tubuh korban), dia dapat menruskan pelaksanaan kejahatan itu tanpa ada halangan (misalnya dengan hanya tinggal menarik pelatuknya), namun kesempatan untuk meneruskan pelaksanaanya tidak dipergunakannya (dia tidak menarik pelatuk pistolnya).
Sedangkan motif apa seseorang mengundurkan diri secara sukarela tidak penting, misalnya takut berdosa, rasa kasihan, atau takut masuk penjara. Tetapi lain jika pengunduran diri itu disebabkan oleh adanya halangan bersifat fisik yang menekan kehendaknya sedemikian rupa sehingga terpaksa menghentikan usaha membongkar brankas, karena tidak berhasil membuka pintunya.
Dari keterangan yang ada dalam MvT WvS Belanda dapat disimpulkan bahwa pengunduran diri sukarela ini tidak dipidana, disebabkan karena dua hal, ialah:
- Untuk menjamin tidak dipidananya bagi orang yang sebenarnya mampu untuk meneruskan kejahatan, tapi dengan sukarela dia tidak meneruskannya. Bahwa bagi orang yang seperti ini harus dikesampingkan anggapan bahwa dia mampu melakukan kejahatan, karena telah ternyata kebalikannya (pertimbangan psikologis).
- Usaha yang paling efektif untuk mencegah kejahatan ialah dengan cara memberikan perlindungan hukum untuk tidak dipidananya bagi orang yang sesungguhnya mampu meneruskan kejahatan, tetapi dengan sukarela tidak meneruskannya (adalah alasan utilitis).
Halangan-halangan ini adalah berupa halangan fisik dari luar diri si pembuat, yang halangan mana tertentu pada 2 macam, yaitu:
- Tertuju pada fisik si pembuat, sehingga dia tidak mampu menyelesaikan kejahatan. Halangan ini baik datangnya dari pihak korban (misalnya ditodong pisau, korban lebih kuat dan melawan), dari pihak ketiga (misalnya sedang menodong dengan pisau-tangannya dipukul orang), maupun dari alatnya (misalnya menodong dengan pistol yang lupa mengisi peluru), yang menyebabkan secara fisik si pembuat menjadi tidak dapat menyelesaikan pelaksanaan kejahatan.
- Tertuju pada, psychis si pembuat, oleh sebab adanya tekanan yang bersifat fisik yang sedemikian rupa yang memaksa seseorang (psychis) mengundurkan diri dari kejahatan yang telah dimulai dan belangsung dilakukannya. Misalnya seorang penodong nasabah bank yang menyerah dengan meninggalkan tas korban di tempat, karena takut mati dikeroyok massa yang sedang mengepungnya, atau pencuri yang meninggalkan barang yang telah diangkatnya karena tidak kuat fisiknya untuk terus membawa pergi barang itu. Bisa juga orang yang mengundurkan diri sukarela karena telah berjam-jam berusaha membuka brankas namun tidak berhasil, ini pun dapat dipidana.
F. Percobaan Tidak Mampu
Percobaan tidak mampu diartikan sebagai percobaan yang betapapun lanjutnya tidak akan dapat menyelesaikan kejahatan karena sarananya atau tujuannya tidak mampu. Ketidakmampuan sarana atau tujuan dibedakan antara yang mutlak dan yang nisbi. Tidak mampu mutlak adalah sarana atau tujuan yang dalam keadaan apa pun tidak dapat mendatangkan hasil yang dikehendaki. Tidak mampu nisbi adalah sarana atau tujuan pada umumnya dapat mendatangkan hasil yang dikehendaki, tetapi dalam keadaan tertentu tidak demikian
Jadi percobaan tidak mampu ada empat kemungkinan yaitu:
Percobaan tidak mampu:
1. Percobaan tidak mampu mutlak
a. Sarana tidak mampu mutlak
Contoh: percobaan pembunuhan dengan membubuhkan gula yang dikira pelakunya racun.
b. Tujuan tidak mampu mutlak
Contoh: Percobaan pengguguran kandungan yang ternyata tidak ada kehamilan
2. Percobaan tidak mampu nisbi
a. Sarana tidak mampu nisbi
Contoh: Percobaan pembunuhan dengan menggunakan racun yang dosisnya terlampau kecil.
b. Tujuan tidak mampu nisbi
Contoh: Percobaan pencurian dari kas yang ternyata kosong.
Dapat dipahami bahwa adanya pertentangan antara ajaran objektif dan subjektif berkenaan percobaan tidak mampu. Ajaran subjektif tidak membutuhkan perbedaan antaratidak mampu nisbi dan tidak mampu mutlak. Semua bentuk percobaan tidak mampu, baik nisbi maupun mutlak dapat dipidana menurut ajaran subjektif.
Dalam teori ini percobaan yang dapat dipidana berdasarkan sikap batin jahat dari pembuat dan ini adalahidentik dalam kedua hal tersebut. Sebaliknya, teori objektif menginginkan hanya percobaan yang tidak mampu mutlak yang tidak dapat dipidana sebab percobaan ini dalam keadaan apapun tidak menimbulkan bahaya objektifbagi tertib hukum.
Lain halnya dengan percobaan yang tidak mampu nisbi. Sarana atau tujuan yang dipilih pada umumnya tidak mengesampingkan diselesaikannya kejahatan yang dituju, tetapi dalam keadaan konkret kemungkinan hasilnya berkurang dan karena inilah dianggap menimbulkan bahaya bagi tertib hukum.
G. Pengaturan Percobaan dalam RKUHP
Percobaan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diatur dalam Paragraf 4, mulai Pasal 17 sampai dengan Pasal 20.
Pasal 17
(1) Percobaan melakukan tindak pidana dipidana, jika pembuat telah mulai melakukan permulaan pelaksanaan dari tindak pidana yang dituju, tetapi pelaksanaannya tidak selesai atau tidak mencapai hasil atau tidak menimbulkan akibat yang dilarang.
(2) Ada permulaan pelaksanaan, jika:
a) pembuat telah melakukan perbuatan melawan hukum;
b) perbuatan itu langsung mendekati terjadinya tindak pidana;
c) perbuatan yang dilakukan itu diniatkan atau ditujukan untuk terjadinya tindak pidana.
Penjelasan:
Ketentuan dalam Pasal ini tidak memberikan definisi tentang percobaan, tetapi hanya menentukan unsur-unsur kapan seseorang disebut melakukan percobaan tindak pidana, pembuat tindak pidana telah mulai melakukan permulaan pelaksanaan tindak pidana dan pelaksanaan itu tidak selesai atau tidak mencapai basil atau akibat yang dilarang.
Permulaan pelaksanaan merupakan perbuatan yang sudah sedemikian rupa berhubungan langsung dengan tindak pidana, sehingga dapat dinilai bahwa pelaksanaan tindak pidana telah dimulai. Perbuatan pelaksanaan dibedakan dari perbuatan persiapan, karena jika perbuatan yang dilakukan masih merupakan persiapan, maka perbuatan tersebut tidak dipidana.
Suatu perbuatan dinilai merupakan permulaan pelaksanaan, jika:
- Perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum;
- Secara obyektif, apa yang telah dilakukan sudah mendekati dengan tindak pidana yang dituju. Atau dengan kata lain, sudah mampu atau mengandung potensi mewujudkan tindak pidana tersebut; dan
- Secara subyektif, dilihat dari niat pembuat tindak pidana tidak diragukan lagi bahwa perbuatan yang dilakukan itu ditujukan untuk mewujudkan tindak pidana.
Pasal 18
(1) Dalam hal setelah permulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat tidak menyelesaikan perbuatannya karena kehendaknya sendiri secara sukarela, maka pembuat tidak dipidana.
(2) Dalam hal setelah permulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat dengan kehendaknya sendiri mencegah tercapainya tujuan atau akibat perbuatannya, maka pembuat tidak dipidana.
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah menimbulkan kerugian atau menurut peraturan perundang-undangan telah merupakan tindak pidana tersendiri, maka pembuat dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tersebut.
Penjelasan:
Ketentuan dalam Pasal ini mengatur percobaan yang tidak dipidana, yaitu apabila tidak selesainya perbuatan itu atas kemauan pembuat tindak pidana. Namun apabila percobaan itu telah menimbulkan kerugian atau telah merupakan suatu tindak pidana tersendiri, maka is tetap dipidana.
Pasal 19
Percobaan melakukan tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda Kategori I, tidak dipidana.
Pasal 20
Dalam hal tidak selesai atau tidak mungkin terjadinya tindak pidana disebabkan ketidakmampuan alat yang digunakan atau ketidakmampuan objek yang dituju, maka pembuat tetap dianggap telah melakukan percobaan tindak pidana dengan ancaman pidana tidak lebih dari 1/2 (seperdua) maksimum pidana yang diancamkan untuk tindak pidana yang dituju.
Penjelasan:
Ketidakmampuan alat yang digunakan atau ketidakmampuan objek tindak pidana yang dituju dapat teijadi secara relatifatau secara mutlak.
Dalam hal ketidakmampuan alat atau ketidakmampuan objek secara relatif, percobaan itu telah membahayakan kepentingan hukum, hanya karena sesuatu hal tindak pidana tidak teijadi. Dalam hal ketidakmampuan alat atau ketidakmampuan objek secara mutlak, tidak akan ada bahaya terhadap kepentingan hukum. Oleh karena itu berdasarkan hal tersebut maka yang dipergunakan adalah taxi percobaan subjektif.
Contoh kasus percobaan menurut yurisprudensi dapat kita lihat sebagai berikut:
1. Kasus Pembakaran di Kota Eindhoven (HR 19-3-1934)
Para terdakwa telah membuat rencana yang canggih untuk membakar sebuah rumah di Jalan Ampere Eindhoven. Para penghuni rumah sepakat memberikan bantuan dengan keluar rumah pada hari yang ditentukan. Pada hari itu juga pembuat utama dengan pembantunya menaruh pakaian bekas yang sudah direndam bensin secara rapat berjajar sehingga merupakan semacam sumbu di semua kamar, tangga, dan gang dalam rumah tersebut. Dalam dapur sepucuk pistol gas diikat pada kompor gas. Picunya diikat tali panjang yang melalui jendela dapur ditarik sampai tergantung di tembok luar. Dengan menarik tali dari luar rumah, maka akan timbul kebakaran karena percikan api dari pistol tersebut.
Percobaan yang dilakukan polisi kemudian membuktikan bahwa pakaian bekas itu segera terbakar. Ketika pembuat utama pada malam harinya kembali ke rumah tersebut untuk menyelesaikan tugasnya menarik tali, dia menjumpai kerumunan orang yang agaknya terganggu hidungnya karena bau bensin. Merasa ulahnya sudah diketahui, pembuat ketakutan lalu mengambil langkah seribu. Adegan penarikan tali seperti telah ditentukan dalam skenario tidak dilangsungkan. Para terdakwa dituduh melakukan percobaan pembakaran yang menimbulkan bahaya umum bagi barang (Pasal 187 KUHP) dan pembantuan pada percobaan tersebut.
Mereka dibebaskan oleh Pengadilan Negeri Den Boch kaerena yang dituduhkan bukan perbuatan pelaksanaan, melainkan hanya perbuatan persiapan. Selain itu, dianggap mungkian ada pengunduran sukarela. Jaksa naik banding dan Pengadilan Tinggi Den Haag menjatuhkan pidana empat tahun terhadap terdakwa utama dan pembantunya dipidana enam bulan penjara.
Para terdakwa minta kasasi dan sebagai salah satu sarana diajukan bahwa pembakaran masih dalam tahap persiapan sehingga tidak ada percobaan yang dapat dipidana. Hoge Raad sependapat dengan itu, membatalkan putusan Pengadilan Tingi dan melepaskan para terdakwa dari semua tuntutan hukum. Putusan mendapat banyak kecaman, kecuali dari penjahat Oss yang terlibat dalam pembakaran tersebut yang tentu saja mensyukurinya.
Hoge Raad
Bantahan bahwa perbuatan yang terbukti baru merupakan perbuatan persiapan dan belum perbutan pelaksanaan adalah beralasan. Menururt Pasal 53 KUHP, untuk dapat dipidana percobaan melakukan kejahatan disyaratkan bahwa niat dari pembuatnya ternyata dari permulaan pelaksanaan, yaitu permulaan pelaksanaan dari kejahatan, yang dalam hal ini berupa pembakaran.
Telah dimulainya pembakaran itu, jadi telah dilakukan perbuatan yang tidak hanya-seperti dipertimbangkan oleh pengadilan tinggi-harus ada untuk melaksanakan pembakaran yang diniatkan, tidak dapat ditujukan pada apapun lainnya serta berhubungan langsung dengan kejahatan yang dituju-sifat-sifat mana juga dapat dimiliki perbuatan persiapan-tetapi perbuatan mana menurut pengalaman-kecuali kalau terjadi sesuatu yang tidak terduga-tanpa perbuatan pembuat lebih lanjut akan menimbulkan kebakaran.
Kalau hubungan langsung itu diartikan oleh pengadilan tinggi sebgai hubungan segera dengan akibat, pendapat itu sesungguhnya tidak benar karena di sini tidak ada perbuatan yang menurut sifatnya menentukan dan perbuatan itu juga belum dimulai.
Perbuatan perbuatan yang terbukti tidak memenuhi syarat perbuatan pelaksanaan. Benar pembuat telah menyiapkan segala sesuatu untuk membakar rumah, tetapi perbuatan yang dipandang sebagai perbuatan pelaksanaan dari pembakaran, perbuatan yang tanpa kejadian tak terduga-misalnya, macetnya pistol gas, tidak menyalanya pakaian bekas yang dicelup bensin, tidak menjalarnya api, dan sebagainya-atau tanpa perbuatan dari orang lain seperti ditepisnya tangan yang hendak menarik ujung tali dan sebagainya dapat menimbulkan kebakaran, tidak tercakup dalam pembuktian dan juga tidak terdapat dalam alat-alat pembuktian.
Pengadilan tinggi memang menyatakan terbukti bahwa pelaksanaan kejahatan tidak terjadi hanya karena suatu keadaan yang tidak bergantung pada kehendak terdakwa. Maksud jahatnya terhalang sebelum api dinyalakan olehnya dan khususnya pengadilan tinggi menganggap bahwa kehadiran kerumunan orang tersebut menghalangi terdakwa untuk menarik tali, bahkan menghalangi munculnya terdakwa di tempat itu. Akan tetapi justru hal-hal inilah yang membuktikan tidak adanya perbuatan yang berada cukup dekat dengan penyelesaian kejahatan untuk dapat dianggap sebagai perbuatan pelaksanaan.
Komentar:
Pengadilan tinggi menentukan bahwa pembuat utama akan menyelesaikan perbauatan pelaksanaan secara lengkap apabila dia tidak dihalangi oleh keadaan yang tidak bergantung pada kehendaknya. HR menganggap bahwa penilaian yuridis pengadilan tinggi mengenai perbuatan yang terbukti adalah tidak tepat.
Tidak hanya pada soal percobaan tidak mampu-di sinipembedaan lebih berarti-tapi juga dalam soal dimana harus menarik garis antara perbuatan persiapan dan perbuatan pelaksanaan, harus dibedakan antara ajaran subjektif yang diperlunak atau ajaran objektif yang diperlunak karena pembedaan antara perbautan persiapan dan perbuatan pelaksanaan tanpa kriteria objektif adalah tidak mungkin.
Ajaran yang paling subjektif pun harus mengajukan ciri-ciri objektif untuk menilai ketentuan dari niat. Soalnya, hanya sampai seberapa penyelesaian itu harus didekati. Tidak diragukan bahwa putusam ini menuju ke arah yang sangat objektif. Tidak ada perbuatan positif lagi setelah pembuat utama meninggalkan rumah tersebut.
Hoge Raad tidak mensyaratkan hubungan langsung dengan kejahatan, tetapi suatu perbuatan yang menurut pengalaman yang menuju ke penyelesaian, kecuali kalau terjadi sesuatu yang tidak terduga.
Di sini perbuatan yang menuju ke pembakaran adalah penarikan tali yang tergantung di tembok luar. Sekalipun demikian, Hoge Raad menegaskan bahwa perbuatan menarik tali tidak harus dilakukan tetapi dikehendaki kepastian bahwa perbuatan akan diselesaikan kalau tidak terhalang. Kepastian ini tidak ada karena terdakwa menyangkal keras (Dari Taverne, catatan di bawah putusan).
2. Kasus Martil (HR 29-5-1951)
Setelah rencana-rencana terdahulu tidak berhasil, seorang wanita yang telah menikah bersepakat dengan pacarnya untuk menghilangkan nyawa suaminya dengan cara berikut. Si pacar diberi kunci untuk memasuki rumah pada malam hari, kemudian masuk ke kamar tidur dan memukul pingsan si suami, lau menyeretnya ke dapur untuk diracuni dengan gas sampai mati.
Si pacar melakukan perannya menurut skenario, tetapi si suami agak bergoyang dalam tidurnya ketika kepalanya hendak dimartil sehingga palu besiini tidak tepat mengenai sasarannya. Si suami terbangun dan mengadakan perlawanan. Si pacar masih menghadiahkan beberapa pukulan lagi, tetapi akhirnya lari.
Sama seperti pengadilan negeri, pengadilan tinggi pun memidana terdakwa karena percobaan pembunuhan berencana dengan pidana penjara selama 10 tahun. Pembela terpidana mengajukan sarana-sarana kasasi sebagai berikut:
- Dari alat-alat bukti tidak dapat disimpulkan bahwa kejahatan yang diniatkan tidak selesai semata-mata karena keadaan yang tidak bergantung pada kehendak terpidana. Selain itu hambatan-hambatan pribadi juga menghalangi terpidana untuk menyelesaikan perbuatannya.
- Perbuatan-perbuatan yang terbukti secara tidak benar dikualifikasikan sebagai “percobaan pembunuhan berencana” karena memukul dengan martil belum dapat dianggap sebagai perbuatan pelaksanaan dari pembunuhan yang diniatkan.
Hoge Raad
- Mengingat jalannya kejadian tidak ada sesuatu yang menunjukkan bahwa tanpa melesetnya pukulan pertama, terbangunnya korban dan-meskipun dipukul berkali-kali oleh terdakwa-perlawanan keras si korban, maka terdakwa menghentikan pelaksanaannya lebih lanjut dari niatnya dan dari kejahatan. Tidak ada sesuatu yang menghalangi pengadilan untuk menarik kesimpulan dari alat-alat bukti bahwa tidak selesainya pelaksanaannya lebih lanjut, hanya akibat dari keadaan yang terbukti dan yang tidak bergantung pada kehendak terdakwa.
- Kalau seseorang dengan pertimbangan yang masak dan secara tenang berniat memukul pingsan orang lain dan kemudian membunuhnya dengan peracunan gas, terdapatlah permulaan pelaksanaan kalau dia dengan sengaja membawa sebuah martil dan memukulkannya dengan keras ke kepala orang lain tadi yang sedang tidur. Dengan perbuatan itu, dia mulai melaksanakan tahap pertama dari rencana untuk merampas nyawa yang hendak dia wujudkan dalam dua tahap. Tahap pertama berisi penyerangan yang sedemikian keras dan langsung terhadap keadaan normal dari korban sehingga dalam keadaan tanpa kehendak dan tanpa daya pasti menjadikan korban keracunan hanya dengan membuka saluran gas.
Komentar:
Mempersoalkan ini dari pengertian permulaan pelaksanaan juga ditentukan oleh hakikat dari hukum pidana yang bersangkutan. Dalam hukum pidana yang mengenal pembuat sebagai pengertian pusat, permulaan pelaksanaan hanya dianggap ada kalau suatu perbuatan menunjukkan ketetapan dari niat (van Hamel) atau kalau pembuat dengan perbuatannya menunjukkan secara psikis sanggup melakukannya (van Dijck).
Akan tetapi, hukum pidana Belanda tetap merupakan hukum pidana perbuatan (daadstrafrecht) dan mengutamakan berbahayanya perbuatan yang tidak dapat dibiarkan dalam masyarakat hukum.
Yang penting adalah kehendak dan sikap batin yang nyata dari perbuatan. Perbuatan menjadi manifestasi riil, perwujudan yang sesungguhnya dari kehendak jahat. Kehendak jahat yang mengejawantah dalam tertib hukum memerlukan pidana. Juga, kalu ini disetujui, garis antara permulaan pelaksanaan yang dapat dipidana dan persiapan yang tidak dapat dipidana, tetap sulit ditentukan.
Dapat dipahami bahwa di sini seringkali hanya dimungkinkan putusan in concreto. Mungkin inilah arti dari rumus yang sering digunakan oleh Hoge Raad sehubungan dengan memori penjelasan “hubungan yang sedemikian langsung sehingga dapat dikatakan ada permulaan pelaksanaan”. Rumusan ini sedikit berbau “bahasa dukun” kalau bukan kesaksian kelemahan (testimonium paupertatis) karena beralasan untuk bertanya hubungan itu harus seberapa eratnya?
Kepastian bahwa terdakwa sungguh akan menyelesaikan hanya diperoleh hakim jika percobaan itu adalah apa yang dinamakan percobaan selesai, yaitu kalau pembuat sudah melakukan semua yang diharapkan dari seorang pembuat. Ada permulaan pelaksanaan kalau perbuatan menurut penampilan di luar ditujukan untuk menyelesaikan kejahatan. Niat pembuat dapat ikut menentukan arah itu. Undang-undang hanya mensyaratkan bahwa niat ternyata dari permulaan pelaksanaan, tidak terbukti.
Yurisprudensi lama menetapkan syarat terlampau berat yang berkaitan dengan kemungkinan bahwa pembuat akan membatalkan rencananya kalau dihadapkan pada kenyataan sehingga mengabaikan kenyataan dari bekerjanya perbuatan yang telah ia lakukan dalam masyarakat hukum (dari BVA Roling, catatan di bawah putusan).
Bibliografi:
- Adami Chazawi. 2005. Pelajaran Hukum Pidana (Percobaan & Penyertaan). Jakarta: RajaGrafindo Persada.
- Abidin Farid. A.Z. & A.Hamzah. 2006. Bentuk Bentuk Khusus Perwujudan Delik (Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Delik) dan Hukum Penitensier. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
- Lamintang. 1984. Dasar-Dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana Yang Berlaku Di Indonesia. Bandung: Sinar Baru.
- Schaffmeister. Dkk (Eds). 2007. Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.
- R. Soesilo. 1993. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.
Anda kini sudah mencapai bagian akhir dalam menuntaskan pembahasan Bab IX (kesembilan) yang merupakan materi dari mata kuliah Hukum Pidana. Silahkan klik tombol di bawah ini untuk memilih bab selanjutnya. 👇👇👇
Post a Comment
Post a Comment